Cerita Prof Syamsul Tentang Menjadi Muslim Minoritas di Australia
Author : Humas | Jum'at, 14 Juni 2019 09:13 WIB
|
Wakil Rektor 1 UMM, Dr. Syamsul Arifin, M.Si saat berada di Australia |
Wakil Rektor 1 Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si. pada momentum lebaran lalu, Rabu (5/6), menjadi khatib pelaksanaan shalat Iedul Fitri bagi komunitas muslim Indonesia di Perth, Australia. Dalam kesempatan itu, Syamsul membawakan khutbah Id yang bertajuk, Merawat Momentum “Manusia Ramadhan”.
Di khutbah yang disampaikan Syamsul di Leisurerelief Center itu, Syamsul menyisipkan tema seputar “Unity in Devirsity” atau Persatuan dalam Keberagaman dalam Islam, guna melengkapi ulasan Syamsul tentang pengalaman ruhani puasa Ramadhan yang berujung pada ketaqwaan sebagai profil dari “Manusia Ramadhan”.
"Dalam kasus penetapan 1 Syawal, entah hingga kapan “modus vivendi” antar umat Islam bisa diperjumpakan? Karena penetapan ini menjadi bagian dari “ikhtilaf”, mudah-mudahan saja tidak berakibat terjadinya “iftiraq”, perpecahan dan pertentangan, seperti ulasan Umar Shihab dalam buku, Beda Mazhab Satu Islam, yang terbit pada 2017," kata Syamsul.
Dikisahkan Syamsul, Nabi Muhammad diliputi kekhawatiran level tinggi terkait dengan “ikhtilaf” dan “iftiraq” ini. Di sebuah masjid yang sekarang terletak ke arah kiri Kuburan Baqi’ Madinah, namanya Masjid al Ijabah, permintaan Nabi di urutan ketiga tidak terkabulkan. Sementara dua permintaan pertama dikabulkan. Nabi memohon kepada Allah agar umat Islam terhindar dari perpecahan akibat perbedaan di dalamnya. Ini permintaan ketiga yang tidak terkabulkan.
Dalam khutbah di Victoria Park itu, Syamsul juga menyinggung ancaman merenggangnya “ikatan kebangsaan” antara warga negara yang juga menggejala di kalangan Muslim sebagai efek dari politik elektoral. “Manusia Ramadhan”, tegas Syamsul dalam khutbah, “adalah manusia yang memiliki etos kebaikan yang antara lain dicirikan dengan kemampuannya menahan amarah dan mau memberi maaf.”
Kita pada Pemilu kemaren, sambung Syamsul, alih-alih malah mudah marah dan cenderung negativistik kepada pihak lain. Alih-alih didasarkan pada alasan rasional dan obyektif, justru karena memang kita tidak menyukainya. Tanpa disadari, kata Syamsul, kita sedemikian dalam terjatuh pada “post-truth”.
Menjadi minoritas tidak selamanya diliputi drama yang menguras air mata seperti suku Uighur, minoritas Muslim di Tiongkok atau komunitas Rohingnya di Myanmar, meskipun tidak bisa dikatakan tidak ada ketegangan, tension, yang dialami oleh Muslim di Australia.
Dari forum diskusi yang digelar oleh CIMSCA (Curtin Indonesian Muslim Student Association) pada 6 Juni, dimana Syamsul diminta membentangkan riset KLN-nya itu—CIMSCA adalah perkumpulan kedua yang menyediakan forum kepada Syamsul yang sebelumnya pada 4 Juni, Association of Indonesian Postgraduate Students and Scholars in Australia (AIPSSA) juga mengundangnya mengulas topik Masyarakat Sipil, Pemilu 2019 dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia—seorang peserta bertukar cerita ihwal pengunjung berjilbab yang tidak dilayani oleh kasir dan kurang artikulatifnya suara umat Islam apabila dibandingkan dengan suara dari kalangan Katolik yang menolak pernikahan sejenis yang diusung oleh kaum LGBT.
“Mungkin karena Muslim itu minoritas,” kata peserta dalam forum itu. Namun, fenomena secara umum, Muslim di Australia, setidaknya kalau menyimak ungkapan testimonial mahasiswa yang bicara ketika itu, baik di Curtin maupun di UWA, masyarakat dan pemerintah memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama termasuk kepada Muslim.
Khayruddin Kiramang, asal Bone, Sulawesi, ketua CIMSA yang juga mahasiswa doktoral Curtin University atas sponsor MORA, mengajak
Syamsul ke sebuah mushala yang terletak di Curtin University. "Mushalla? Di kampus plat merah? Di negara sekuler pula! Sewaktu mengikuti konferensi di University of Salerno, Italia, Maret yang lalu, alih-alih sekedar ruang kecil untuk shalat, tidak tersedia," gumamnya.
Tetapi di kampus yang namanya dinisbahkan kepada John Curtin, Perdana Menteri Australia, 1941-1945 dan pentolan Partai Buruh, 1935-1945, dan kampus ini “ditubuhkan” pada 1966, alih-alih ruang kecil, tetapi justru mushala dengan ukuran yang lumayan luas dengan kapasitad sekitar 200 orang, serta dengan arsitektur yang unik. Seharusnya bukan mushala, bolehlah disebut masjid karena juga digunakan untuk shalat Jumat sebagaimana yang saya ikuti pada 8 Juni kemaren.
“Pada bulan Ramadhan kemaren, di mushalla ini selalu ada takjil,” cerita Pak Din, sapaan akrab Khyaruddin Kiramang yang sedang studi bidang kepustakaan. Ada pula cerita tambahan dari Bu Yuni, selama Ramadhan di gelar semacam bazar di salah satu koridor di kampus Curtin.
Menjadi muslim Minoritas, memang ada minusnya. Sebagaimana juga menjadi mayoritas, ada minus, juga plus. Tetapi dari kunjungan beberapa kali ke Australia, saya belajar banyak kepada mereka. "Di tengah keterbatasan sebagai minoritas, mereka bermental mayoritas. Apakah mungkin karena juga pemerintah Australia menjaga jarak dengan agama sebagai wilayah privat? Masih perlu dikaji lagi," pungkasnya. (*)
Shared:
Komentar