Prof. Dr. drh. Lili Zalizar, M.S. memegang produknya, Supra cream. (Foto: Aan/Humas) |
BADAN Penelitian dan Pengembangan Pertanian menyebut penyakit radang ambing atau yang dikenal sebagai Mastitis merupakan masalah utama dalam peternakan sapi perah. Penyakit ini menyebabkan kerugian ekonomi mencapai Rp.10 juta/ekor/tahun akibat penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal serta pengafkiran dini sapi produktif.
Berangkat dari hal ini, dosen Fakultas Pertanian-Peternakan (FPP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof. Dr. drh. Lili Zalizar, M.S. melakukan penelitian tentang kasus Mastitis. “Kondisi di peternakan sapi perah yang paling merugikan adalah terjadinya radang kelenjar susu,” jelas Lili. Sementara terdapat dua jenis Mastitis yakni gejala klinis yang jelas (Mastitis Klinis) dan yang gejala tidak nampak (Subklinis).
Lili menyebutkan bahwa pada gejala yang banyak ditemui pada ternak sapi perah biasanya berupa gejala Sub Klinis. Ciri-cirinya sulit untuk dideteksi peternak karena tidak nampaknya gejala yang ditimbulkan. “Saya pernah meneliti pada salah satu wilayah di Pujon. Dari satu daerah saja 60% sapi yang ada terkena mastitis sub klinis dan baru tahunya saat sudah dalam kondisi sangat parah,” lanjutnya.
Baca juga: Di Zaman yang Serba Berubah, Teori Sosial Juga Harus Ikut Berubah
Selain kerugian ekonomis, penyakit mastitis secara tidak langsung dapat berdampak pada kesehatan manusia. Peningkatan kejadian penyakit mastitis, diikuti dengan peningkatan penggunaan antibiotika, yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan residu antibiotik dalam air susu dan potensi peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotika. Gangguan ini mengakibatkan masalah kesehatan bagi manusia.
Berdasarkan hasil identifikasinya yang pernah dilakukannya di sentra sapi perah di Jawa Barat, bakteri patogen penyebab mastitis adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae. Penularan bakteri ini, melalui puting dan berkembang biak dalam kelenjar susu. Hal ini terjadi karena puting yang habis di perah terbuka, kemudian kontak dengan lantai atau tangan pemerah yang mengandung bakteri.
Pada kondisi parah sapi terdampak Mastitis, susu yang dihasilkan sapi perah tidak bisa dicampur dengan susu sapi yang lain dan terlihat pecah. Ini juga sejalan dengan hasil penelitiannya pada kasus Mastitis Sub Klinis sapi perah laktasi di Kecamatan Pujon Kabupaten Malang. Lili lantas melakukan riset untuk pengobatan dan pencegahan pada kasus mastitis dan menghasilkan produk berupa Krim anti mastitis.
Baca juga: Semnas PBSI UMM-UMMI: Literasi Dosen Juga Mesti Dikuatkan
Sapi yang telah selesai diperah, ambing susu sapi yang langsung diolesi krim ini mempunyai jumlah bakteri yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak diberi krim anti mastitis. “Dengan demikian peluang untuk menjadi mastitis lebih rendah dibandingkan yang tidak diolesi krim. Hal ini karena semakin tinggi jumlah bakteri maka peluang terjadinya mastitis lebih tinggi,” ujarnya saat ditemui Rabu (27/2) lalu.
Lili berencana memproduksi temuannya menjadi produk komersial. Sudah setahun berjalan dilakukan pengemasan pada produk krim anti mastitis. Produksi saat ini masih untuk kalangan tertentu yang tersebar ke beberapa tempat. Seperti Koperasi Jabung dan peternak di wilayah Pujon. “Untuk ke depan nya mungkin kita bisa memprodusi produk ini secara masal dan memiliki hak paten,” ungkapnya lebih jauh.
Hilirisasi dan komersialisasi hasil penelitian memang tengah menjadi perhatian besar UMM. “Kita tidak hanya melakukan penelitian untuk dijadikan jurnal saja, tapi hasil dari penelitian kita terapkan menjadi sebuah produk agar masyarakat juga bisa merasakan hasil dari penelitian nya. Salah satunya berupa krim anti mastitis ini,” ucap dosen asal Subang, Jawa Barat yang dikenal concern pada peningkatan produktivitas ternak ini. (riz/can)