Salah satu pembicara sedang memaparkan materi. (Foto: Istimewa) |
Program Studi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) memperoleh kebanggaan menjadi tuan rumah International Humanitarian Law Course. Kursus hukum humaniter tersebut merupakan agenda tahunan International Committee of the Red Cross (ICRC) Regional Delegation Indonesia-Timor Leste. Diikuti sebanyak 45 peserta dari berbagai perguruan tinggi, kementerian, dan lembaga swadaya masyarakat dari Indonesia dan Timor Leste.
Acara berlangsung pada 19-23 Agustus 2019 di Amarta Hills Hotel and Resort, Kota Batu. Wakil Rektor I UMM Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si dalam sambutannya menyambut baik kepercayaan ICRC untuk memilih UMM menjadi tuan rumah. Menurutnya, kursus hukum humaniter menjadi penting untuk memahami pentingnya misi kemanusiaan terutama dalam situasi perang. Tambahnya, agama merupakan manifestasi untuk mewujudkan kemanusiaan.
Namun demikian, sambung Syamsul yang merupakan guru besar Sosiologi Agama ini, ironisnya tidak ada agama manapun yang akan terhindar dari adanya perang. Untuk itu, lanjutnya, memahami nilai dan substansi kemanusiaan dalam perang adalah hal yang fundamental, sebagai pengejawantahan ajaran agama sekaligus penghargaan terhadap hak asasi manusia.
Baca Juga: Diklat Bela Negara Bagi Aktivitis UMM, Gembleng Bibit Pemimpin Masa Depan
Sementara itu, Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional Kemenkumham Tudiono memandang bahwa seiring dengan kompleksitas konflik bersenjata yang didukung dengan modernisasi persenjataan, maka perlindungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan harus ditingkatkan.
“Dalam konteks Indonesia, pemerintah Indonesia terus berusaha memastikan terlaksananya penghormatan terhadap hukum humaniter internasional, salah satunya melalui penyusunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018 diikuti dengan peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2019,” tandasnya.
Untuk itu kegiatan ini, menurutnya, menjadi penting dalam membantu proses penyelarasan dan penyempurnaan hukum humaniter Indonesia terhadap hukum humaniter internasional. Sekaligus menjalin sinergitas antara pemerintah dan stakeholders, salah satunya ICRC dan perguruan tinggi.
Lebih lanjut, Dr. Alina Permanasari dari Fakultas Hukum Universitas Trisakti sebagai salah satu pemateri dalam paparannya menegaskan bahwa dalam peristiwa konflik bersenjata, bukan hanya masyarakat sipil yang harus mendapat perlindungan. Bahkan hukum humaniter internasional mengatur kewajiban kedua belah pihak yang berkonflik untuk melindungi benda-benda budaya, seperti bangunan bersejarah, situs prasejarah, hingga manuskrip. Hal ini menunjukkan perang memiliki aturan yang harus dipatuhi oleh setiap pihak.
Selama lima hari, acara diisi dengan penyampaian materi dan diskusi tentang hukum humaniter internasional dari berbagai pakar. Hadir sebagai pemateri di antaranya dari ICRC Indonesia-Timor Leste, Kushartoyo B.S., Donny Putranto, Novriantoni Kaharuddin, serta Muhammad Awfa. Kemudian Mayor Ahmad Fadilah, Brigjen (Purn.) Natsri Anshari, Laksamana Kresno Buntoro dari kalangan TNI serta Yunizar Adiputera dari kalanagan akademisi, dan Azharuddin dari Kemenkumham Republik Indonesia. (*/can)