Mohamad Asep, lulusan terbaik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) di wisuda ke-97 periode III Tahun 2020 dengan IPK 3,99. (Foto: Rizki/Humas) |
SAAT baru lulus pesantren di Pondok Modern Darussalam Gontor, Mohamad Asep sempat harus memendam mimpinya untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri. Hal itu lantaran sang Ibunda, Duriyah, baru saja berpulang. Meski begitu, mimpi terpendam Asep masih tetap Ia rawat hingga sekarang. Ia ingin mengikuti jejak banyak kawannya yang telah lebih dulu kuliah di luar negeri. Sebutlah di Madinah, Kairo, Yaman dan negara Arab lainnya. Namun, mimpinya kini berbeda. Asep justru ingin mendalami Islam di negara Non-Arab. Ambisinya studi Islam di Australia, Inggris atau Belanda.
Lulusan Terbaik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini ingin mengetahui bagaimana para cendekiawan Muslim dan non-Muslim mempelajari Islam. Meskipun, akan ada stereotip negatif bagi dirinya jika ia diterima di negara non-Arab. Namun, ia tak ingin ambil pusing. Tekad Asep untuk mendalami Islam di negara non-Arab sudah bulat. “Rencana ke depan antara tiga negara: Australia, Inggris dan Belanda. Tapi saya lebih fokusnya itu Australia. Tapi tidak menutup kemungkinan negara lain saya coba juga,” ungkap lulusan Prodi Hukum Keluarga Islam asal Indramayu, Jawa Barat ini.
Diakui putra terakhir dari bapak Saroni ini, ambisinya itu lantaran termotivasi oleh dosennya di Fakultas Agama Islam UMM yang mendalami studi Islam di negara non-Arab. Bukan hanya karena label “di luar negeri”-nya. Tapi Ia mendapati kesan berbeda dari mereka yang telah menempuh studi di negara non-Arab. Baik dari cara mereka mengajar, serta bagaimana mereka membangun relasi antara dosen dan mahasiswa. Sebutlah ada Hasnan Bachtiar, S.HI., MIMWAdv dan Pradana Boy ZTF., Ph.D. yang sama-sama menuntaskan studi magisternya di Australian National University (ANU).
Baca juga: Kementerian ESDM-UMM Serah Terima Pembangkit Energi Baru Terbarukan
Lebih jauh, Asep yang diwisuda pada Senin, 19 Oktober 2020 dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) nyaris sempurna yakni 3,99 ini, terpacu dengan gaya mengajar kedua dosen yang telah mengadaptasi model pembelajaran di universitas terbaik nomor wahid di Australia itu. “Mungkin teman-teman saya agak kaget. Biasanya, kan, hanya masuk kelas dan presentasi. Sedangkan mereka mewajibkan mahasiswanya membaca buku, critical review dan sebagainya. Jadi mungkin bagi teman saya yang lain terasa berat. He he,” kata mantan Ketua Umum Forum Studi Islam Fakultas Agama Islam UMM ini.
Menurutnya, ambisinya untuk studi Islam di negara non-Arab juga lantaran banyak sarjana Muslim yang mengenyam pendidikannya di negara non-arab. Sebut saja Jasser Auda. “Ada yang dari Chichago, kanada juga ada, dan lain sebagainya. Hal ini yang membikin saya semakin mantap untuk mengikuti jejak mereka. Saat ini, saya akan memperbaiki kemampuan bahasa Inggris saya. Meski dulu fasih berbahasa Inggris, karena jarang dilatih, akhirnya menguap begitu saja. Semoga kemampuan saya akan cukup untuk mendapatkan beasiswa dari negara yang saya tuju,” kata Asep (16/10).
Kegandrungan Asep pada studi Islam tidak hanya dia maksimalkan di bangku perkuliahan. Asep bersama kawan alumnus satu almamaternya di Pondok Gontor sampai menginisiasi sebuah kelompok studi pemikiran Islam bernama ISTANID (Islamic Thought and Interdisciplinary Studies). Hobi membaca buku-buku seputar studi Islam juga ia implementasikan dalam karya tulis berupa jurnal ilmiah. Salahsatunya berjudul Rethinking The Contemporary Discourse of Jihad, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, vol 9, No 2, Desember 2019 yang ditulisnya bersama dosen. (can)