Pandangan Bung Hatta tentang Pendidikan Tinggi Islam

Author : Humas | Kamis, 22 Oktober 2020 11:19 WIB
 

DUTA Besar Republik Indonesia (RI) di Beirut untuk Republik Lebanon, Hajriyanto Y. Thohari didapuk memberikan orasi ilmiah dalam gelaran Wisuda ke-97 Periode III Tahun 2020 Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Rabu (21/10). Dalam orasinya, secara khusus Hajriyanto memaparkan pandangan Mohammad Hatta, salah satu proklamator kemerdekaan Republik Indonesia tentang Ilmu, Agama dan Pendidikan Tinggi Islam. Orasi virtual ini disampaikan di hadapan para wisudawan dari jenjang diploma, sarjana, hingga pascasarjana.

Caranya agama menghadapi suatu persoalan dalam masyarakat, kata Muhammad Hatta, adalah satu sikap yang tidak mudah. Ini menghendaki didikan tinggi. Didikan tinggi itu harus diberikan oleh sekolah tinggi Islam. Dengan demikian, belajar ilmu di sekolah tinggi Islam, kata Hatta, haruslah berbeda dengan sekolah tinggi yang lain. Belajar di sekolah tinggi Islam tidak semata-mata untuk mempelajari ilmu saja. Sebab berbagai ilmu yang diajarkan di sini dapat pula dipelajari pada sekolah tinggi atau universitas yang lain.

“Belajar ilmu di universitas Islam atau sekolah tinggi Islam harus menetapkan kemauan untuk mempelajari ilmu pengetahuan di atas dasar pandangan hidup Islam. Apakah dengan demikian berarti Islam itu ilmu? Hatta dengan tegas menjawab bahwa Islam bukan ilmu. Islam adalah agama. Islam sebagai agama, pemikirannya tidak dapat memberikan isi kepada ilmu. Sumbanga Islam kepada ilmu terdapat pada anjurannya kepada para penganutnya untuk mempelajari ilmu sebanyak-banyaknya, di mana saja dan dari siapa saja,” ungkap Hajriyanto.  

Baca juga: Bisa Survive Kuliah Berkat Beasiswa dan Wirausaha

Hatta kemudian mengajukan beberapa bahan renungan bagi siapapun yang terlibat dalam sekolah tinggi Islam atau universitas Islam. Umat islam, menurut Hatta, diharuskan untuk menuntut kemuliyaan hidup dan ketinggian derajat. Untuk hal itu maka perlu belajar ilmu pengetahuan. Umat Islam dianjurkan untuk menuntut ilmu di segala tempat serta menjemputnya dari segala lidah. Demikian Hatta mengungkit ungkapan dari Muhammad Abduh. Seorang pembaharu pemikiran Islam dari Mesir.

Di tempat di mana orang menuntut ilmu bagi orang Islam, di tempat mana orang menuntut ilmu bagi Hatta tidaklah menjadi soal. Yang penting adalah hikmat dan kepandaiannya. Sungguh mengejutkan bagaikan orang pesantren, Hatta mengatakan dengan mengutip sebuah hadis: Hikmah atau ilmu pengetahuan itu barang tuntutan orang-orang mukmin. Dimana saja mereka dapati Ia lah orang yang paling berhak menjemputnya. Artinya Hatta ingin mengatakan hikmah dan kepandaian itu barang hilangnya umat Islam. Maka dimanapun saja umat Islam menemui hikmah tersebut, maka harus diambilnya.

“Dalam pengamatan Hatta, sejarah Islam telah cukup membuktikan bahwa berabad-abad lamanya Islam telah mampu menjadi pendorong pengembangan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan pada masa lalu telah berupaya untuk menghidupkan lagi ilmu-ilmu Yunani yang telah terpendam di abad pertengahan dan kemudian menyebarkannya ke Eropa melalui Asia Minor atau Asia Kecil dan Spanyol. Sisa-sisa kebesaran kultur Islam di Spanyol masih tetap kelihatan nyata sampai sekarang,” terang Mantan Wakil Ketua MPR RI periode 2009-2014 ini.

Baca juga: Duta Besar RI untuk Kolombia Tekankan 3 Hal untuk Hadapi Globalisasi

Kalau tidak karena Islam, sambungnya, tidak mungkin bangsa Arab yang terbelakang dalam segala aspek kehidupannya itu, dalam tempo yang singkat berhasil menjadi pemangku dan penyebar ilmu. Itu semua, menurut Hatta, harus direnungkan terutama oleh mereka yang terlibat dalam sekolah tinggi Islam atau universitas Islam. Demikian juga mereka yang belajar di unit universitas islam. Logika ilmu memang tidak berubah, tetapi tujuan ke mana ilmu itu akan diarahkan hendaknya sepadu dengan etika Islam.

Etika Islam dalam ilmu yang dimaksudkan Hatta adalah orientasi dari ilmu itu yang seharusnya selalu tertuju kepada upaya untuk terciptanya kesejahteraan manusia seluruhnya. Sekolah tinggi Islam atau universitas Islam haruslah mengkaji masalah bagaimana Islam memandang masyarakat ini dengan seluruh perkembangannya. Masalah ini belum banyak dikupas dan dianalisis. Padahal banyak ayat al Quran tentang masalah ini. Inilah tugas dan lapangan kajian sekolah tinggi Islam atau universitas Islam.

Sekolah tinggi Islam atau universitas Islam, menurut Hatta, harus memiliki spesifikasi dalam hal ilmu dan masalah yang dikaji dan dipelajarinya. Apabila yang diajarkan dan dikaji didalamnya adalah itu saja dengannya dikaji dan dipelajari di perguruan tinggi yang lainnya (non-Islam), kata Hatta maka adanya sekolah tinggi Islam atau universitas Islam tersebut kurang berarti sama sekali.

Baca juga: Menko PMK di Wisuda UMM: Segeralah Menjadi Angkatan Kerja Produktif!

“Hatta menganjurkan agar yang diajarkan dan dikaji didalamnya adalah antara lain bagaimana pandangan Islam tentang masyarakat, bagaimana pandangan Islam tentang ekonomi, bagaimana pandangan Islam terhadap hukum, bagaimana pandangan Islam tentang keadilan, dan sebagainya. Tidak cukup sampai di sini, konsep Hatta tentang pendidikan tinggi Islam itu. Ia juga mengajukan konsep yang operasional lagi, yaitu bahwa untuk menunjang terciptanya kekhususan sekolah tinggi Islam dan universitas Islam, maka menurut Hatta perlu disiapkan guru atau pengajarnya sendiri. Kata Hatta, jangan sampai guru-gurunya diambilkan dari sekolah tinggi yang lain,” ujar Hajriyanto.

Dalam hal ini ia berkata, kalau diadakan universitas Islam atau sekolah tinggi Islam, tapi gurunya diambilkan dari universitas lain, tentu tidak ada gunanya pendirian universitas islam. Pasalnya universitas Islam haruslah berdasarkan kepada agama Islam. Universitas Islam hendaknya memikirkan apa itu pandangan hidup Islam, bukan sekedar sebuah universitas biasa yang diberi nama atau label Islam seperti banyak yang terjadi seperti sekarang ini.

“Bahkan nama-nama fakultas atau jurusan pun sama persis dengan universitas biasa. Alih-alih memikirkan paradigma ilmu pengetahuan berdasarkan pandangan hidup islam, dosen-dosen dan tidak jarang rektornya sekalipun seringkali pinjaman dan berangkat dari universitas biasa yang lain. Sebagai penutup, sebuah pertanyaan penting untuk diajukan. Apakah universitas Islam, seperti universitas Muhammadiyah kita sekarang ini sudah berkembang seperti yang sudah dikonsepsikan seperti bung Hatta. Pertanyaan ini berpulang kepada sivitas akademika itu sendiri,” pungkas Hajriyanto. (can)

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image