Peneliti Paramadina di UMM: Agama Tak Lebih dari Alat Politik di Pemilu 2019
Author : Humas | Rabu, 06 November 2019 12:24 WIB
|
Prof.Dr.Syamsul Arifin, M.Si saat mengisi acara Seminar Nasional Diseminasi Hasil Riset (FOTO: Mirza/Humas) |
Agama telah menjadi alat yang ampuh bagi para politisi. Selama tahun-tahun awal Reformasi, politisasi agama sering dikaitkan dengan partai-partai Islam, yang jelas berkampanye untuk agenda Islam seperti penerapan syariah. Sekarang, semua orang memainkan agama untuk politik. Politik identitas yang dimainkan oleh para Islamis mendorong politisi lain, umumnya dari latar belakang sekuler yang tidak tertarik pada masalah agama, untuk menggunakan alat yang sama untuk mengalahkan mereka.
Pemilu 2019 adalah bukti paling jelas tentang bagaimana kelompok-kelompok sekuler nasionalis menggunakan agama untuk tujuan pemilihan mereka. Kedua kandidat presiden, Prabowo Subianto dan Joko "Jokowi" Widodo tidak berasal dari latar belakang Islam. Keduanya, untuk menggunakan istilah Gifford Geertz, masing-masing berasal dari keluarga priyayi dan abangan, dan keduanya menggunakan agama untuk tujuan politik mereka. Sementara Prabowo menggunakan kaum Islamis.
Demikian disampaikan Luthfi Assyaukanie, Ph.D, dosen Universitas Paramadina saat memaparkan hasil penelitiannya di forum Seminar Nasional Diseminasi Hasil Riset Secular and Islamist Role in Indonesian Elections di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Selasa (5/11). Penelitian yang dilakukan dirinya bersama tim yang dilakukan selama dua tahun ini mengeksplorasi peran agama dalam politik Indonesia, khususnya dalam pemilu 2019. Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya turut hadir.
Pada pemaparannya itu, Luthfi fokus pada bagaimana agama memainkan perannya dan bagaimana orang menggunakannya sebagai alat politik mereka. Setelah politik identitas dan kebangkitan populisme global, agama memiliki ruang yang luas untuk diekspresikan. “Pertanyaan sentral yang dibahas dalam artikel ini adalah siapa aktor utama dan bagaimana menangani masalah ini? Apa yang membuat politisasi agama yang baru berbeda dari fenomena yang sama di masa lalu?” ungkap Luthfi.
Memotret hal yang sama, Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Prof. Masdar Hilmy, M.A, Ph.D, yang turut menjadi panelis seminar sehari ini mengungkapkan bahwa gelombang politik identitas juga dapat disaksikan dengan bermuculannya aksi yang berjilid-jilid di Jakarta pada tahun 2017 lalu. Hal tersebut tentu saja bukan tanpa sebab. Menurutnya, elit-elit politik terdorong untuk merebut hati umat Islam Indonesia menggunakan kemasan agama dalam menawarkan dirinya sebagai pemimpin yang ideal.
Di sisi lain, menurut Wakil Rektor I UMM Dr. Syamsul Arifin, M.Si., politik identitas sudah lama digaungkan dan digunakan para politisi untuk meraup suara. Cara ini adalah teknik lama yang sering digunakan untuk meraup suara yang berlimpah mengingat mayoritas rakyat Indonesia merupakan umat Islam. “Agama seharusnya sebagai pencerah. Bila tidak dipahami benar-benar akan mudah menjadi pribadi yang diperalat atas nama agama,” tandas Syamsul yang turut menjadi panelis. (mir/can)
Shared:
Komentar