Ratusan mahasiswa menyimak diskusi seputar konflik internasional. (Foto: Istimewa) |
PENELITI Senior dari Resilience Development Initiative Dr. Nino Viartasiwi, menyebut perang dan konflikyang terjadi dewasa ini selalu diciptakan. Dikatakan Doktor Hubungan Internasional dari Ritsumeikan University Kyoto Jepang itu, praktik ini tujuannya adalah melanggengkan kepentingan banyak aktor, baik perusahaan multinasional, industri militer, negara-negara, hingga elit-elit politik.
Dalam kuliah tamu program studi Ilmu Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bertajuk "Konflik Internasional dan Kepentingan Ekonomi Politik", Sabtu (9/3), Nino mengupas tentang agenda dan kepentingan tersembunyi berbagai aktor di balik terjadinya konflik internasional. Menurutnya, elit-elit predator itulah yang paling banyak diuntungkan dalam situasi konflik.
Nino mencontohkan tentang bagaimana Papua menjadi arena perebutan kepentingan banyak pihak. "Narasi mainstream yang selama ini dibangun tentang Papua adalah isu separatisme. Tapi, sebenarnya di balik isu separatis itu, ada banyak masalah sosial yang lebih besar yang justru menjadikan elit-elit predator mendapatkan keuntungan," pungkas Director of Research Pilar Data Indonesia Research and Consulting itu.
Baca juga: Komunikasi UMM Rancang Festival Film Anak Internasional Pertama di Malang
Karena itu, pihaknya menegaskan bahwa memandang Papua tidak bisa dari narasi dan kacamata separatis. Sebab hal itu akan menjadikan masalah yang jauh lebih penting dan jauh lebih besar justru terabaikan. "Separatisme memang ada dan penting, tapi masalah sosial yang ada jauh lebih kompleks yang apabila dilihat lebih mendalam, menjadikan isu separatis itu sebenarnya kecil. Karena itu, kita harus melihat isu Papua, beyond (keluar) dari isu separatis," tambahnya.
Lebih lanjut, Nino menegaskan pentingnya pandangan dan narasi tentang Papua harus diubah. Selama ini, di masa Orde Baru, pendekatan yang dilakukan bersifat militeristik dan itu tidak bisa menyelesaikan persoalan. Sejak masa reformasi, pendekatan terhadap Papua mulai berubah. Dimulai dari diubahnya nama Irian Jaya menjadi Papua dan diberlakukannya otonomi khusus.
"Irian itu adalah nama yang paling dibenci oleh mereka. Dan, nama Papua itulah yang paling diinginkan oleh mereka," katanya. Namun demikian, tambahnya, persoalan Papua harus terus dikawal dan aktor yang dipandang paling mampu untuk membangun narasi itu adalah civil society atau masyarakat madani. (*/can)