Seminar Nasional FH UMM: Bahas Advokat dan Contempt of Court dalam RUU KUHP
Author : Humas | Rabu, 27 November 2019 10:57 WIB
|
Mudzakkir memaparkan materi dalam Seminar Nasional Advokat dan Contempt of Court dalam RUU KUHP (Foto: Mirza/Humas) |
Permasalahan hukum yang terkait dengan penghinaan yang ditujukan kepada lembaga peradilan selalu menjadi perhatian masyarakat hukum Indonesia. Walaupun pada umumnya sepakat bahwa setiap orang, lembaga dan profesi selalu menuntut adanya perlindungan hukum terhadap kehormatan dan nama baiknya. Demikian disampaikan Dr. Mudzakkir, S.H., M.H, dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia.
“Namun demikian dalam praktek penegakan hukumnya acapkali menimbulkan masalah hukum mengenai interpretasi hukum terkait dengan apakah perbuatan tersebut termasuk sebagai perbuatan penghinaan terhadap pengadilan,” sambung Mudzakkir dalam Seminar Nasional: “Advokat dan Contempt of Court dalam RUU KUHP” (26/11) yang diselenggarakan FH UMM dan Perhimpunan Advokat Indonesia Cabang Malang.
Dilanjutkan Mudzakkir di hadapan ratusan mahasiswa dan praktisi hukum bahwa permasalahan hukumnya akan menjadi lebih menarik lagi ketika pengadilan, dalam hal ini dijalankan oleh hakim, menilai seseorang telah melakukan contempt of court yang salah satu bentuk tindak pidananya mirip dengan penghinaan atau pencemaran nama baik dan meminta kepada aparat penegak hukum/polisi untuk melakukan penyidikan.
“Tema Contempt Of Court (COC) yang menjadi topik bahasan dalam seminar hari ini sangat relevan agar rumusan norma hukum pidana mengenai COC menjadi jelas dan tegas serta mudah untuk ditegakkan serta tidak menjadi “pasal karet” yang disebabkan oleh sikap aparat penegak hukum dan hakim atau pengadilan yang secara langsung atau tidak langsung menjadi korban dari tindak pidana COC tersebut,” tukasnya.
Sementara, Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur dan pengajar Universitas Nasional Jakarta Dr. H. Herri Swantoro, SH, MH menegaskan bahwa sebagai lembaga penegakan hukum yang memberikan keadilan kepada para pihak yang berperkara melalui putusan hakim, maka peradilan meliputi lembaganya, proses atau mekanisme, maupun para hakim yang memeriksa dan memutus perkara, haruslah dihormati.
Segala bentuk tindakan atau perbuatan yang pada prinsipnya merupakan bentuk tidak hormat maupun pelecehan terhadap peradilan (contempt of court) harus diberikan sanksi. “Penghinaan terhadap peradilan bukan lagi semata tindakan verbal di pengadilan, melainkan sudah mengarah pada aksi kekerasan di dalam ruang sidang,” ungkap Herri dalam seminar yang turut dihadiri Wakil Rektor III UMM, Sidik Sunaryo.
Lebih jauh Herri berpendapat, sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku criminal contempt adalah sanksi yang bersifat menghukum (punitive). “Di negara‐negara common law, pelaku dapat dijatuhi pidana denda atau pidana penjara. Tujuan dari pemidanaan pelaku criminal contempt adalah untuk membuat pelaku jera dan membuat orang lain tidak melakukan perbuatan yang sama,” ungkap Herri di Mini Teater UMM.
Dilanjutkan Herri, pentingnya pemidanaan terhadap pelaku criminal contempt adalah untuk melindungi kekuasaan peradilan dan martabat pengadilan, yang dalam hal ini meliputi negara, pemerintah, pengadilan dan masyarakat berkepentingan terhadap terselenggaranya peradilan yang seharusnya. Dalam literatur‐literatur common law, criminal contempt secara singkat sering disebut sebagai ʺoffences against the administration of justiceʺ.
Turut hadir panelis lainnya H. Arsul Sani, S.H., M.Si, selaku wakil ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan Wakil Rektor III UMM Sidik Sunaryo juga turut sebagai panelis. Selain pemaparan para panelis seputar materi Advokat dan Contempt of Court dalam RUU KUHP, hadir sebagai pembicara kunci yakni Prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M. selaku Ketua Dewan Pembina Dewan Pimpinan Nasional Peradi. (mir/can)
Shared:
Komentar