Aksi Terorisme di New Zealand, Dosen UMM: Islam adalah Jalan Keselamatan

Author : Humas | Sabtu, 30 Maret 2019 15:04 WIB
 Nafik Muthohirin. (Foto: Rizky/Humas)

AKSI TEROR yang terjadi beberapa waktu lalu di Christchuch, New Zealand mengganggu harmonisasi keberagaman umat beragama di berbagai belahan dunia. Aksi yang menewaskan lima puluhan orang ini disebut mengatasnamakan supremasi ras kulit putih, serta pembalasan atas tragedi teror yang dilakukan oknum umat Islam.

Padahal, berdasarkan hasil survey yang dilakukan Global Peace Index tahun 2017, New Zealand disebut sebagai negara paling aman kedua di dunia. Pemeringkatan ini didasarkan pada penilaian kondisi keamanan, perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), ketertiban lingkungan, serta praktik kriminalitas.

Merespon hal ini, Nafik Muthohirin, dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menerangkan, ada sebuah terminologi yang mengatakan bahwa Islam itu kekerasan. Padahal Islam itu adalah jalan keselamatan. “Jadi tidak mungkin Islam itu mengajarkan kekerasan apalagi terorisme,” katanya.

Baca juga: Semai Nilai Perdamaian dan Tangguh Bencana Lewat Boardgames

Penyerangan yang dilakukan Brandon Tarrant tentu sangat mengejutkan publik dunia. Aksi ini tidak serta merta membuat masyarakat muslim New Zealand menjadi takut. Tepat sepekan setelah teror, masyarakat berduyun-duyun untuk datang ke masjid, bahkan azan disiarkan secara besar-besaran di beberapa stasiun televisi.

“Itu membuktikan bahwa masyarakat di New Zealand memiliki pengetahuan dan toleransi yang tinggi dengan mereka turun kelapangan, memakai hijab, sebagai bentuk empati.  Mereka juga bisa membedakan mana yang terorisme dan mana yang tidak, dan mereka tahu bahwa islam itu adalah agama yang damai,” tuturnya Kamis (27/3).

Islam mengajarkan ketenangan, perdamaian, toleransi, dan nilai-nilai universal yang semua agama juga meyakini itu. “Hanya saja banyak pihak-pihak tertentu mempolitisasi atau menjustifikasi dalil agama atau dalil Islam khususnya, untuk kepentingan tertentu,” kata direktur penelitian Pusat Studi Islam dan Multikulturalisme (PUSAM) UMM ini.

Baca juga: Peduli Kesehatan Mental Remaja, Mia Bawa Isu Bullying di Indonesia ke Korea

Hal ini disebabkan Islamofobia yang tengah melanda masyarakat dunia belahan Barat. Islam sendiri telah diajarkan di surat Al-Hujurat ayat 13, bahwa setiap umat bahkan setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, berbangsa-bangsa, bersuku-suku, supaya saling mengenal. Inilah konsep multikulturalisme dalam Islam.

Berbagai aksi kekerasan berlatar belakang agama ini, disebut Nafik, paling tidak disebabkan oleh dua faktor dominan. Yakni yang pertama, sambungnya, praktik populisme agama yang hadir di ruang publik, yang dibumbui dengan nada kebencian terhadap pemeluk agama, ras, dan suku tertentu.

Baca juga: Empat Warga Jerman Belajar Energi Alternatif ke PLTMH UMM

Sementara yang kedua, beberapa kelompok yang beraliran politik sektarian yang sengaja menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk menjustifikasi kebenaran manuver politik tertentu. “Paham ekstrim ini menggiring masyarakat ke arah konservatisme radikal secara pemikiran,” terang Nafik.

Dilanjutkan penulis buku fundamentalisme Islam ini, Islam juga ada begitu banyak mengajarkan kepada kita untuk bertoleransi, seperti menganjurkan supaya umat muslim berlaku adil (al-Maidah: 8-10), peduli terhadap sesama (al-Maun: 1-7), larangan saling bermusuhan (al-Hujurat: 12), serta merajut kebersamaan (al-Hujurat: 10). (riz/can)

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image