Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (FH UMM) Mokhammad Najih, Ph.D. (Foto: Chandra/Humas) |
DOSEN Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (FH UMM) Mokhammad Najih, Ph.D menyebut korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang memiliki sifat dan karakteristik sebagai kejahatan internasional (international crime), Kamis (14/1) siang.
Hal ini disampaikannya saat bertindak sebagai panelis pada gelaran diskusi publik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Fakultas Hukum UMM di Gedung Kuliah Bersama (GKB) IV lantai 9 UMM. Pertemuan ini membahas prospek pemberantasan korupsi pasca Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.
Diuraikan Najih, berdasarkan Background Paper Declaratioan of 8 International Conference Against Corruption di Lima, Peru, 2002 ada tujuh dampak korupsi yang melatarbelakangi internasionalisasi kejahatan korupsi. “Pertama, korupsi dianggap merusak demokrasi,” ungkap Najih.
Kedua, sambung Najih, korupsi dianggap merusak aturan hukum, teristimewa pembuatan undang-undang yang sarat dengan praktik suap-menyuap dan dalam penegakan hukum. Ketiga, korupsi menghambat pembangunan berkelanjutan. keempat dari korupsi adalah merusak pasar.
Baca juga: Rektor UMM: Islam Menjunjung Tinggi Kemanusiaan
Kelima, korupsi merusak kualitas hidup, khususnya korupsi di sektor pendidikan dan kesehatan. Keenam, korupsi dapat membahayakan keamanan manusia. Terakhir, korupsi melanggar hak asasi manusia. “Celakanya, semua dampak korupsi ini pada tahap yang memprihatinkan di Indonesia,” bebernya.
Berdasarkan berbagai dampak tersebut, lanjut Najih, korupsi dinyatakan sebagai kejahatan internasional sebagaimana yang tertuang dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Sementara, mengomentari undang-undang tindak pidana korupsi (UU Tipikor) Najih menyebut dalam praktiknya, penerapan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut masih menyisakan beberapa permasalahan.
“Pertama, masih adanya beberapa perbuatan yang seharusnya dipandang sebagai perbuatan korupsi belum tercakup di dalam UU TIPIKOR. Hal ini menyebabkan sering diterapkannya penafsiran yang ekstensif bahkan cenderung akrobatik. Oleh karena itu diperlukan rumusan delik yang lebih luas tetapi ketat,” ungkapnya.
Baca juga: UMM adalah Bentuk Aktualisasi Beragama yang Mencerahkan
Selain itu, sambung Najih,adanya kekeliruan yang mendasar seperti duplikasi pengaturan delik atau tindak pidanan yang diatur dua kali. “Terutama yang mengambil langsung KUHP contoh Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 11 UU tipikor yang sama-sama mengatur mengenai pegawai negeri yang menerima suap,” ujarnya.
Tak hanya itu, persoalan lain yang tidak boleh ditinggal yakni terdapat pasal yang kontradiktif mengenai masalah ancaman pidananya, yaitu Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12 huruf C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Terakhir, adanya kelemahan rumusan mengenai beban pembuktian terbalik dalam Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001. “Dengan adanya kekeliruan tersebut, rumusan yang seharusnya dibuat untuk pengaturan beban pembuktian terbalik, akan tetapi dalam pelaksanaannya menjadi proses pembuktian biasa,” terangnya.
Dengan segala daftar permasalahan tadi, Najih menilai pembaharuan hukum tindak pidana korupsi mendesak untuk dilakukan. Dilanjutkannya, momentum pelaksaan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak pada April 2019 mendatang sebagai momentum perbaikan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. (bel/can)