UMM Hadirkan Ilmuan Diaspora dari Swinburne Australia, Bagi Kiat Songsong World Class University
Author : Humas | Rabu, 21 Agustus 2019 17:35 WIB
|
Dr. Dina Wahyuni, dosen Swinburne University of Technology Australia saat membagikan pengalamannya di hadapan para tenaga pendidik UMM. (Foto: Mirza/Humas) |
Di era industri 4.0 ini, berbagai dimensi kehidupan musti berbenah. Pola lama yang dipakai, musti diubah dengan mengintegrasikan dengan berbagai kecanggihan teknologi yang ditelurkannya. Termasuk perguruan tinggi juga tidak boleh ketinggalan melakukan penyesuaian. Salah satunya dengan memberikan kuliah yang berbasis dalam jaringan (daring/online).
“Metode tersebut sudah diterapkan dengan baik di Swinburne University of Technology,” jelas Dr. Dina Wahyuni, dosen Swinburne University of Technology Australia saat menghadiri Penguatan Program Internasionalisasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menuju World Class University, Rabu (21/8).
Dina adalah salah satu ilmuan diaspora dari Indonesia yang menjadi dosen tetap di luar negeri. Lulusan S1 Universitas Negeri Jember, Jawa Timur ini membagikan pengamatan lingkungan akademik universitas kelas dunia di Australia, khususnya di mana dirinya mengajar sebagai seorang diaspora Indonesia.
“Di sana, seluruh kualitas perguruan tinggi dinilai oleh customer, yakni mahasiswa,” tuturnya. Hal tersebut meliputi pengajaran di kelas, kompetensi dosen dan kualitas bahan ajar. Perguruan tinggi tempat Dina mengajar selalu mendapat urutan pertama dalam pelayanan pendidikan. Ia pun juga menjelaskan betapa ketatnya suasana akademik di Swinburne.
“Jika dosen berhalangan hadir, ia tak bisa mengganti kelas sesuai kehendak,” katanya. Dosen, lanjutnya, harus menghubungi partner mengajarnya dan kelas harus tetap berlangsung karena semua sudah tersistem. Setiap proses belajar mengajar berlangsung, secara otomatis akan direkam dan mahasiswa dapat memutar ulang setelah kelas berlangsung.
Ada tiga macam dosen di Swinburne. Teaching Only, Research Only dan Conventional. Teaching Only tidak memiliki kewajiban untuk meneliti, tugasnya hanya mengajar. Sedang, dosen konvensional berkewajiban meneliti dan mengajar. Pembedaan ini adalah upaya untuk tetap memfokuskan lembaga pendidikan dalam melaksanakan cita-cita dan kewajibannya.
Ekosistem riset yang ada di tempat Dina mengajar juga tak jauh-jauh dari keadaan di Indonesia. Sedikit bedanya adalah penelitian besar-besaran yang diprakarsai oleh Pemerintah. “Tahun ini, kami sedang meneliti emisi karbon,” ungkap Dina.
Menurut Dina, untuk menuju World Class University butuh keseriusan membentuk budaya akademik yang baik. Mulai dari riset hingga pelayanan pendidikan pada para mahasiswa. Dirinya pun mencontohkan, saat ia mengajar, memiliki tanggung jawab mengajar 1000 mahasiswa pada satu mata kuliah.
Kemudian ia bagi menjadi dua kali pertemuan yang artinya, satu kali pengajaran ada 500 mahasiswa yang diajar dalam kelas besar. Kelas teori hanya berlangsung 2 jam. Selanjutnya adalah kelas tutorial yang dibagi dalam kelas-kelas kecil bersama para instruktur masing-masing.
Selain kelas secara langsung, ada juga kelas online. Kelas online tidak berarti sepenuhnya online. Tetap ada 12 kali pertemuan tatap muka yang dilakukan. Rupa kelas online ini hampir sama seperti yang diterapkan Universtias Terbuka di Indonesia.
Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si, Wakil Rektor I UMM menerangkan jika World Class University (WCU) adalah ikhtiar UMM. Jalan menuju visi itu perlu ditempuh dengan baik. Salah satunya melalui kesungguhan memberikan outcome berupa publikasi ilmiah. Telah banyak wadah-wadah untuk publikasi ilmiah dan harus bisa di manfaatkan dengan baik.
Selain itu, bagi Syamsul, universitas-universitas di Indonesia perlu juga belajar dari beberapa universitas-universitas yang telah menjadi rujukan perguruan tinggi-perguruan tinggi dunia. “Kita punya peluang besar untuk menjadi salah satu universitas terbaik di dunia,” tuturnya. (mir/can)
Shared:
Komentar