Ramadan, Toleransi, dan Pancasila

Author : Humas | Thursday, July 11, 2013 01:46 WIB | Koran Tempo -

dosen Universitas Muhammadiyah Malang. Kandidat doktor di National University of Singapore (NUS)



D RAMA menegangkan itu kembali terulang. Melalui Sidang Isbat Penetapan Awal Ramadan, pemerintah telah mempertontonkan intoleransi dengan hanya mempertimbangkan sikap kelompok tertentu dan mengabaikan kelompok yang memiliki pendirian, keyakinan, metode, dan fakta lain. Maka, tak terlalu salah jika ada yang menilai sidang isbat hanya merupakan legitimasi bagi kelompok tertentu sekaligus penghakiman atas sikap dan pilihan kelompok lainnya. Sulit untuk tidak menyimpulkan, melalui drama ini, bahwa pemerintah telah gagal memerankan diri sebagai katalisator konflik wacana di kalangan kelompok-kelompok Islam yang berbeda di Indonesia.
 

Tetapi, pada saat yang sama, pertanyaan kritis juga perlu dikemukakan: apakah sikap Muhammadiyah yang menolak berpartisipasi dalam Sidang Isbat dan pada saat yang sama memilih mengikuti sikap dan keyakinannya sendiri bukan merupakan sikap yang intoleran? Jawaban atas pertanyaan ini bisa beragam. Di satu sisi, sebagai sebuah kritik terhadap sikap pemerintah yang tidak obyektif dan intoleran, penolakan untuk terlibat dan patuh pada kebijakan serta keputusan pemerintah merupakan sebuah contoh kritik verbal yang sangat mengena. Di sisi lain, hal itu bisa juga dilihat sebagai bentuk intoleransi atas keragaman, yang pada gilirannya potensial memicu ketegangan horizontal pada level massa awam.
 

Perbedaan keyakinan memang tidak mudah disatukan. Demikian pula tafsir atas kebenaran, tidak gampang dinegosiasikan, jika bukan malah mustahil. Tapi pasti akan selalu ada ruang di antara keyakinan dan kebenaran yang berbeda itu. Saya meyakini itulah toleransi. Maka, dalam kerangka toleransi ini, sebagai bagian dari rumah besar bernama Indonesia, kita perlu sejenak menengok pada akar kebangsaan kita. Maknanya, jika kita masih meyakini Pancasila sebagai falsafah bangsa yang mampu menjadi titik temu bagi semua perbedaan yang ada di negeri ini, termasuk perbedaan tafsir atas agama, menanggalkan sejenak ego kelompok dan menengok pada nilai-nilai dasar kebangsaan itu barangkali bisa memberi angin segar di tengah ketegangan.
 

Kita sadar, meskipun terlahir dari rahim bangsa Indonesia, Pancasila bukan ada secara instan dan tiba-tiba. Sebaliknya, ia lahir dari perdebatan, ketegangan, dan dialektika panjang di antara beragam perbedaan. Maka, menampilkan dialektika di balik perumusan Pancasila bisa menjadi contoh akan adanya sikap toleran dalam keragaman dan perbedaan itu. Dr Roeslan Abdulgani, dalam bukunya, Resapkan dan Amalkan Pantjasila, menjelaskan bahwa dalam interval waktu antara pencetusan Pancasila 1 Juni 1945 dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 telah terjadi perdebatan yang dinamis menyangkut dasar negara Indonesia, dengan lahirnya Piagam Jakarta. Dawam Rahardjo (2010: 12) menyebut fakta ini sebagai "puncak pemikiran tentang kenegaraan dari gerakan Islam" yang dipelopori oleh KH Abdul Kahar Muzakkir, seorang alim dari Muhammadiyah. Dalam dokumen itu disebutkan sebuah penegasan: "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".
 

Menurut Roeslan (1963: 25), penyertaan kalimat itu merupakan hal yang diskriminatif terhadap pemeluk-pemeluk agama lain. Dan atas dasar itu, diusulkan sebuah perubahan yang kemudian disetujui oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melalui persetujuan tokoh Islam Ki Bagus Hadikusumo, yang juga tokoh Muhammadiyah terkemuka. Namun, ada juga pendapat bahwa, meskipun dinilai diskriminatif, rumusan tujuh kata itu dinilai bersifat cukup toleran, karena kewajiban menjalankan syariat Islam itu hanya ditujukan kepada umat muslim. Dalam pandangan Dawam Rahardjo, meski rumusan itu terlihat sederhana, ia membawa konsekuensi yang cukup rumit. Sebab, pernyataan itu bisa bermuara pada legislasi hukum Islam (syariah) dan mengadopsinya sebagai hukum positif negara.
 

Terlepas dari perdebatan di atas, dialektika ini sebenarnya menggarisbawahi prinsip dan contoh nyata toleransi, ketika dalam sebuah komunitas terdapat berbagai identitas yang saling berlomba mencari eksistensi. Secara teoretis, toleransi sering diterjemahkan sebagai sikap dan perilaku yang tumbuh dari tanggapan positif dan akomodatif dalam mengatasi perbedaan dan konflik yang terjadi dalam sebuah komunitas (Hasyim, 2007: 53).
 

Toleransi sebagaimana dicontohkan oleh para perumus Pancasila itu bersifat internal dan eksternal. Kahar Muzakkir, sebagai pencetus tujuh kata dalam Piagam Jakarta, menerima revisi oleh anggota tim yang sebagian besar di antaranya adalah muslim. Demikian pula dengan sikap kooperatif Ki Bagus Hadikusumo. Meskipun belakangan Kahar Muzakkir melakukan gerakan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia, keberhasilan pencantuman rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa", sebagai pengganti usulan Kahar Muzakkir, menunjukkan adanya sikap toleransi itu. Namun apa yang dewasa ini kita saksikan dalam alam kehidupan beragama di Indonesia justru sebaliknya. Toleransi seolah menjadi barang langka. Baik gerakan-gerakan Islam maupun pemerintah seperti berlomba menunjukkan dan mempertontonkan intoleransi dalam banyak aspek kehidupan.
 

Dalam konteks ini, sebuah pelajaran penting lainnya layak dihadirkan dalam kaitan dengan sikap Muhammadiyah. Apa yang menarik dari contoh dialektika di atas tidak hanya tentang bagaimana perbedaan disikapi. Dua tokoh Muhammadiyah berada pada dua kutub pandangan yang berhadapan. Kahar Muzakkir berada pada posisi yang cenderung eksklusif dengan mengedepankan identitas Islam formal di atas ikatan identitas kebangsaan, sementara Ki Bagus Hadikusumo melihat urgensi untuk menyelamatkan bangunan kebangsaan Indonesia tanpa harus mengorbankan nilai-nilai keislaman. Dengan kata lain, dialektika ini bisa pula dibaca sebagai perbedaan antara orientasi formalis, di satu sisi, dan orientasi substansialis, di sisi lain.
 

Meskipun berbeda bentuk dan peristiwa, perdebatan awal bulan Ramadan, sidang isbat, dan sikap Muhammadiyah, pada ranah sosiologis bisa dianalogikan dengan dialektika tentang Pancasila di atas. Bagi Muhammadiyah, dengan berkaca pada contoh dialektika seputar Pancasila dan dasar negara ini, pada masa-masa mendatang, jika hal-hal semacam ini terus berlangsung, pilihannya adalah apakah akan meng­ambil model Kiai Kahar Muzakkir atau Ki Bagus Hadikusumo?

من المقطوع: http://koran.tempo.co/konten/2013/07/11/315560/Ramadan-Toleransi-dan-Pancasila
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: