Hujan, Berkah Dan Bencana

Author : Humas | Tuesday, December 02, 2014 11:53 WIB | Malang Post -

Oleh :  Gumoyo Mumpuni Ningsih
Pengajar Universitas Muhammadiyah Malang

Musim hujan telah datang, menurut terminologi agama apa pun, hujan merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan supaya bisa terus melangsungkan kehidupannya. Air hujan adalah rahmatanlil'alamin yang harus dinikmati dan disyukuri karena kehidupan tidak bisa berlangsung tanpa adanya air.
Pada sisi lain, intensitas curah hujan yang tinggi sering menyebabkan terjadinya banjir sehingga terjadi pergeseran makna; dari berkah menjadi musibah. Tetapi, banjir bukan berarti air di bumi mengalami penambahan debit sehingga alam tidak lagi mampu menampungnya, padahal lingkungannyalah yang mengalami degradasi akibat dieksploitasi manusia.
Menurut ilmu hidrologi, jumlah air di bumi tidak pernah mengalami penyusutan maupun pertambahan, tetapi melakukan siklus melalui proses penguapan dan hujan dalam proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air sehingga bumi tidak pernah mengalami "dehidrasi". Hanya karena faktor iklim dan cuaca sehingga penyebaran air di antara benua dan daerah terjadi perbedaan yang signifikan, Benua Asia dan Amerika kaya sumber air sedangkan Benua Afrika sangat sedikit debit airnya.
Indonesia termasuk daerah beriklim tropis dengan curah hujan tinggi yang tidak sama setiap tahun yakni rata-rata 2.000-3.000 mm/tahun. Begitu pula antara tempat satu dengan yang lain rata-rata curah hujannya tidak sama sehingga berdampak positif terhadap kekayaan flora dan sumber daya alam lainnya. Sedangkan curah hujan rata-rata tahunan global 990 mm/tahun (39 in).

Pengelolaan DAS
Hujan adalah sebuah presipitasi yang merupakan masukan utama dari daur hidrologi dalam DAS. Dampak kegiatan pembangunan terhadap proses hidrologi sangat dipengaruhi intensitas, lama berlangsungnya dan lokasi hujan. Karena itu perencana dan pengelola DAS harus memperhitungkan pola presipitasi dan sebaran geografinya.
Berangkat dari perspektif antropologi ekologi hujan sesungguhnya fase "panen air" yang harus disimpan sebanyak-banyaknya sebagai persediaan ketika musim kemarau. Panen air bisa disiasati dengan membuat biopori pada rumah tangga, sumur resapan massal, hutan kota, membangun danau/waduk, reboisasi dan mempertahankan konservasi hutan hujan tropis pada pinggiran kota. Tetapi kenyataan yang terjadi di lingkungan kita, ketika musim hujan datang air melimpah tidak tersimpan dengan baik sehingga menyebabkan banjir kota maupun banjir tahunan terutama di daerah yang dekat aliran sungai-sungai besar.
Padahal, dalam filosofi budaya mupun ekologi musim hujan dan kemarau adalah dua kondisi di mana kita bisa memanen berkah dari bumi/alam. Ketika musim hujan banyak tanaman pertanian, perkebunan dan ladang yang membutuhkan air lebih sehingga menghasilkan kualitas padi, sayur-mayur dan agro lainnya sangat bagus. Sementara ketika musim kemarau saatnya panen palawija dan kerajinan tanah kering lainnya dengan baik. Begitu juga pertanian, harus tetap bisa panen karena waduk dan sistem irigasi dijaga baik. Dalam berbagai kenyataan, hal yang terjadi pada lingkungan dan masyarakat adalah sebaliknya; musim hujan dan kemarau mendatangkan musibah/bencana. Ketika musim hujan banjir menyebabkan keresahan dan kerugian, ketika musim kemarau kita kekurangan air bersih, terjadi kebakaran dan tanaman padi puso (gagal panen) sehingga paceklik merambah desa-desa.

Antisipasi banjir menjadi berkah
Mengeliminir kemungkinan banjir tidak ada salahnya diantisipasi, karena musim hujan sudah datang, harus dihadapi sebaik-baiknya agar tidak menyebabkan bencana, tetapi berkah buat lingkungan. Mari cek biopori di sekitar rumah, gotong-royong membersikan dan memperdalam saluran air, bersihkan sungai-sungai dari sampah, suburkan dan pelihara hutan kota, perbaiki tanggul waduk dan irigasi, serta lakukan reboisasi pada lahan-lahan gundul.
Pemerintah daerah mempunyai kewajiban menormalisasi DAS setiap musim kemarau tiba, sebab DAS sudah masuk kategori rusak berat oleh sampah, limbah pabrik dan pendangkalan. Kalau tidak dilakukan secara baik maka musim hujan kali ini juga sungai-sungai akan meluap dan menyebabkan banjir. Banyak orang bijak mengatakan, sungai adalah cerminan budaya masyarakat. Sikap masyarakat kota yang menurut Soekanto (1996) cenderung individualis (gaselchaft), berorientasi ekonomis dan acuh tak acuh terkadang menjadi bumerang ketika menghadapi kenyataan kualitas lingkungan yang sangat buruk.
Sungai penuh sampah akibat permukiman padat dan kumuh, drainase tersumbat sampah rumah tangga sehingga setiap hujan besar datang menyebabkan jalan tertutup air dan luapan sampah, kemacetan mendera di jalan-jalan kota menjadi pemandangan yang acap terlihat. Kerugian waktu, tenaga dan pikiran jelas tidak terhitung lagi sehingga sudah saatnya masyarakat kota melakukan reorientasi dengan aksi kembali pada lingkungan. Tegakkan kedisiplinan dalam membuang sampah, merawat drainase jalan sebagai bagian dari kebutuhan hidup, gotong royong menjaga hutan kota, perkuat pactum ido-ecologi terhadap daerah-daerah resapan air dari rongrongan investor berorientasi bisnis ansich.
Musim hujan saat ini, semoga airnya benar-benar membawa berkah dan dapat disimpan dengan baik sehingga menjadi tabungan kelak ketika musim kemarau tiba. Syaratnya satu, mengembalikan budaya masyarakat kota pada habitat ekosistemnya sebagai satu kesatuan antara urban dengan sistem lingkunan hidup yang mutualisme.

من المقطوع: http://malang-post.com/serba-serbi/redaktur-tamu/95772-hujan-berkah-dan-bencana
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: