Oleh: Nasrullah*
Membaca Malang Post edisi Selasa (15/1) tentang pernyataan presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) agar kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun depan tidak menggunakan panggung dangdut, saya jadi teringat nasehat “ustadz” di Opera Van Java (OVJ) di Trans7 pada musim Ramadhan tahun lalu. Ustadz yang yang dikenal dengan Pak Usman yang diperankan oleh komedian Sule itu selalu punya tiga kata kunci, yakni “teori” indoor, outdoor dan door to door. Kampanye yang tidak boleh menampilkan dangdut oleh SBY itu pasti yang dimaksud adalah kampanye outdoor.
Indikasi kampanye outdoor dari pernyataan presiden itu nampak pada penyebutan jumlah massa yang dilibatkan mencapai ratusan ribu orang. Seperti diketahui, di Indonesia belum ada gedung dengan kapasitas hingga ratusan ribu orang. Sebaliknya, SBY menyarankan agar kampanye cukup melibatkan 1.000 hingga 2.000 orang saja sehingga bisa mendengarkan isi kampanye dengan baik. Tentu ini merujuk pada kampanye indoor. Alasan SBY cukup masuk akal, pada kampanye yang dihadiri ratusan ribu orang maka yang terdengar teriakan minta air, bukan konsentrasi kepada visi-misi calon.
Di luar dua cara kampanye itu, SBY juga minta agar media lebih obyektif dan memberi ruang yang sama kepada para calon. “Media jangan tebang pilih. Berikan ruang untuk perkenalkan masing-masing calon,” kata SBY seperti dikutip Malang Post. Pilpres 2014 diperkirakan akan riuh oleh banyaknya calon dan tanpa calon incumbent. Jumlahnya bisa mencapai puluhan, melebihi jumlah Parpol yang sudah disahkan KPU. Bisa dibayangkan betapa ramainya media massa oleh kampanye Capres. Betapa sulitnya bagi media untuk menampilkan secara obyektif masing-masing calon. Apalagi hingga saat ini pencapresan itu masih belum jelas motifnya, apa betul-betul untuk menjadi Capres atau semata-mata untuk mencari popularitas.
Nah, kali ini Pak Usman, khilaf tidak punya sebutan “teoritis” untuk kategori kampanye yang menggunakan media massa ini. Padahal media memiliki posisi strategis sebagai saluran yang dapat menjangkau publik sangat luas, tidak hanya ratusan ribu, bahkan jutaan. Ruangnya pun tidak sebatas luas Stadion Gajayana, melainkan seluas daratan Republik ini, bahkan hingga ke luar negeri. Hanya saja, sebagai gate keeper tentu saja media memiliki kelemahan, yakni bias yang sulit dihindari.
Menurut Pamela Shemaker dan Stephen Reese (1996), teks atau kontent media dipengaruhi oleh bias individu, rutinitas media, organisasi intra dan ekstra media, serta ideologi. Pada level individu, seseorang yang bekerja di media massa memiliki kecenderungan sikap pada sebuah persoalan, termasuk preferensi pada seorang calon. Ketika melakukan liputan, maka sulit dihindari memilih sudut pandang sesuai dengan kecenderungan pribadinya. Demikian juga pada level rutinitas media yang dibatasi oleh ruang dan waktu yang mengharuskan media disiplin pada deadline, membatasi panjang tulisan maupun durasi siaran. Tentu harus ada yang “ditebang” dan “dipilih” agar rutinitas media tak terganggu.
Pada level berikutnya, pengaruh struktur organisasi media, termasuk media owner, mempengaruhi ruang redaksi dalam menentukan isi berita. Pengaruhnya masuk hingga pada newsroom. Hal ini wajar karena salah satu yang sulit dihindari adalah intervensi pemilik modal pada kebijakan redaksi. Di Indonesia, kasus-kasus seperti ini sepertinya sudah dimahfumi bersama.
Di level ekstra media, kondisi budaya, sosial dan ekonomi juga ikut menentukan. Suatu contoh, meski cukup independen, media harus diakui banyak bergantung pada pemasang iklan, oleh karenanya akan sulit mengelak dari pengaruh pihak-pihak pengiklan. Pada level inilah calon yang cukup memiliki amunisi dana memasang iklan lebih banyak dipastikan akan memeroleh ruang lebih besar di media daripada calon yang bermodal cekak.
Pada “teori” Pak Usman juga tidak menyebut media (jejaring) sosial. Demikian pula SBY sepertinya belum memepersoalkan masalah ini. Padahal, kini keributan politik di Indonesia juga tak bisa dilepaskan dari gaduhnya komunikasi melalui media sosial seperti Twitter, Facebook dan Blackberry Massanger (BBM). Dukungan, kritikan bahkan cemoohan, tak jarang dilewatkan melalui media-media tersebut. Oleh karena sifatnya yang bebas, media sosial ini relatif lebih liar dalam menyikapi berbagai persoalan politik, termasuk dalam hal kemunculan Capres. Karena liarnya itulah seringkali media ini juga cukup efektif untuk melampiaskan katarsis dan membentuk opini. Pada mulanya opini hanya pada komunitas virtual (virtual community), namun pada gilirannya juga akan masuk ke dalam dunia nyata. Fenomena ini tidak mungkin dibendung hingga alih-alih akan semakin marak. Semakin mendekati masa Pilpres nanti, media sosial diperkirakan akan semakin merisaukan jika kita tidak hati-hati.
Teori Pak Usman yang paling populer saat ini adalah door to door. Dalam bahasa sekarang, teori ini bisa disebut sebagai blusukan. Mestinya sambil melarang kampanye berdangdut ria, SBY juga memberi warning untuk kampanye jenis ini. Bukan karena blusukannya, tetapi perlu diwaspadai praktik money politic. Politik uang itu bisa dilakukan seorang calon ataupun tim sukses dengan cara blusukan kemudian membagikan umpan-umpan berupa sembako hingga uang cash. Pada masa injure time biasanya praktik seperti ini semakin marak.
Blusukan bisa sangat produktif dan tetap dalam koridor demokrasi apabila itu dilakukan memang untuk menyerap aspirasi maupun untuk memantau atau mengevaluasi. Fenomena blusukannya Dahlan Iskan dan Joko Widodo bisa dikategorikan dalam level ini. Blusukan memiliki fungsi manajemen yang tepat, yakni planning dan evaluating atau controlling. Melalui tindakan door to door itu akan diketahui apa yang dibutuhkan dan perlu dirancang sebagai program ke depan. Demikian juga dapat dijadikan sebagai media pengawasan berjalan tidaknya program yang lain.
Hanya saja “teori” door to door memiliki kelemahan karena berpotensi hanya bisa dilakukan oleh calon yang saat ini menjadi pejabat publik. Bagaimana dengan calon pendatang baru? Blusukan bagi pejabat publik menghasilkan keuntungan ganda. Disamping fungsi manajemen, juga untuk mengangkat popularitas. Bagaimanapun aksi blusukan ini masih menjadi daya tarik media, sehingga pelakunya akan menjadi media darling ataupun selebriti politik. Semakin ekstrim cara blusukannya, semakin disuka oleh media, sehingga semakin banyak porsi media meliputnya.
Jadi soal kampanye bukan soal dengan atau tanpa dangdut. Masih banyak persoalan kampanye yang perlu dibahas lebih substansial saat ini. Saya kuatir, gara-gara pernyataan SBY tadi penggemar dangdut bisa saja protes, mengapa hanya dangdut yang disebut “dilarang” presiden. Bukankah musik pop dan rock pun punya potensi yang sama untuk ricuh.
Apalagi bagi Bang Haji Fans Club (BHFC), bisa saja pernyataan SBY itu dianggap sebagai sikap tidak suka pada gencarnya wacana calon presiden si Raja Dangdut, Rhoma Irama. Jika betul demikian, SBY telah memancing antipati mereka sehingga bisa berdampak pada siapapun calon yang didukungnya. Meremehkan Rhoma berarti menganggap kecil penggemarnya yang berjumlah jutaan orang. Bukan hanya itu, seperti yang dikampanyekan oleh Rhoma, dangdut adalah budaya bangsa, sehingga meremehkan dangdut sama saja dengan menyepelekan budaya sendiri.
Walau demikian, saya masih yakin SBY tidak bermaksud memancing opini kontroversial. Dengan pikiran positif, pernyataan SBY bisa kita maknai sebagai anjuran agar kampanye berlangsung aman, tertib dan efektif, tanpa keributan. Politik kita sudah terlalu gaduh, tidak perlu ditambahi kegaduhan yang tidak produktif. (*)
*)Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), pegiat Gerakan Melek Media.