Ide bisnis terkadang muncul tak terduga, bisa kapan saja, dari mana saja. Begitu juga dengan kerjasama bisnis, dapat terjalin dari obrol-obrol ringan sesama teman. Seperti yang dialami Dienok Naziel Iqmalia, saat mengawali usaha konveksi Naziel Collection 2007 lalu.
Sebagai anak sulung dari empat bersaudara pasangan HM Rif’an Yasin dan Hj. Nanik Ainur Rosidah, pemilik Toko Kain Nelly, Lia –panggilan akrab Dienok Naziel Iqmalia- sudah diperkenalkan dengan bisnis kain sejak remaja. Apalagi ia juga membantu operasional toko sehari-hari, hingga membuatnya begitu memahami seluk beluk bisnis dunia kain. Meski demikian, alumnus Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini tetap berharap untuk mempunyai bisnisnya sendiri, sehingga tidak tergantung dengan usaha orang tua.
Kesempatan itu muncul enam tahun lalu, ketika Lia dan sang suami Abdul Adzim Irsad mendapat kunjungan teman-teman mereka dari Jakarta yang kebetulan bekerja di Sahid Tour umroh dan haji. ”Mereka waktu itu datang dengan mengenakan seragam umroh. Iseng saya tanya, beli seragam tersebut dimana dan harganya berapa,” kata perempuan kelahiran 2 April 1983 ini.
Dari jawaban yang diberikan, Lia merasa harga yang disebutkan terlalu mahal untuk seragam dengan kualitas kain yang dikenakan sang tamu. Masih dalam obrolan ringan tersebut, ia kemudian menawarkan seragam dari bahan lebih bagus, namun dengan harga yang sama. ”Teman suami saya kemudian meminta saya untuk membuat hitungan dan penawaran kepada tour & travel ini. Saya berikan beberapa contoh kain, contoh seragam yang sudah jadi hingga akhirnya mereka memutuskan untuk memesan seragam ke saya dan lahirlah Naziel Collection,” kata ibu dari M. Hamzah Fairobi kepada Familia Malang Post.
Dua tahun sejak mendirikan Naziel Collection, Lia melakukan ekspansi dengan membuat seragam sekolah. Keputusan tersebut dibuat tanpa direncanakan sebelumnya. Ketika itu, Lia yang sedang berada di Toko Kain Nelly menerima telpon dari teman sang adik yang menanyakan tentang kain yang cocok untuk dibuat seragam. ”Nah, teman adik saya juga menanyakan apa kain itu bisa dijahitkan sekalian, ya sudah saya bilang bisa, hehehe. Sejak saat itu, Naziel Collection juga melayani pembuatan seragam,” ungkapnya sembari tersenyum.
Untuk menjaga kepuasan pelanggan, perempuan yang aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) semasa mahasiswa ini benar-benar memegang teguh prinsip kepercayaan dalam bisnis. Ia memenuhi pesanan sesuai dengan apa yang dijanjikan di awal kesepakatan. ”Jika dalam presentasi awal, kain yang saya bawa bagus, maka ketika pesanan jadi, ya kain itu yang dipakai. Sehingga pelanggan tetap percaya dengan kualitas yang kami tawarkan,” tandasnya.
Tidak heran jika pelanggan pertamanya, Sahid Tour tetap menjadi customer setia Lia hingga saat ini. Hampir setiap bulan ia membuatkan seragam umroh sesuai jamaah yang diberangkatkan. Bahkan di awal tahun 2013 ini, ESQ Tour juga mulai memesan seragam umroh ke Naziel Collection. Sementara untuk pesanan seragam sekolah, pelanggan Lia tersebar dari Malang Raya, Pasuruan, hingga Ambon. Baik untuk seragam TK, SD, SMP hingga SMA.
“Alhamdulillah, pencapaian bisnis kami hingga saat ini karena ridho Allah SWT. Tentu juga atas bimbingan orang tua yang lebih dulu terjun dalam dunia bisnis, beliau sangat mendukung dan membantu kami dengan nasehat dan masukan-masukannya,” ucap Lia.(han)
Kenalan di IRC
Internet Relay Chat (IRC) saat ini mungkin sudah tidak happening lagi, semenjak kemunculan Facebook, Twitter, Line, BBM dan media sosial lainnya. Namun keberadaan IRC menjadi sejarah tersendiri dalam hidup Dienok Naziel Iqmalia. Bagaimana bisa?
”Saya kenalan suami pertama kali di IRC, hehehe,” ucapnya tertawa.
Bukan Lia yang pertama kali berkenalan dengan sang suami yang kala itu masih menjadi mahasiswa di Ummul Qura Mekkah, tapi temannya. ”Saat kenalan di chat, biasanya kan saling kirim foto ya waktu itu. Nah, teman saya mengirimkan foto berdua dengan saya,” tutur Lia.
Sejak perkenalan tersebut, Lia dan Azdim sering berkomunikasi dan berdiskusi via IRC tanpa pernah bertemu. Di tahun 2002, Adzim yang asli Jember pulang ke Indonesia dan bersilaturahim ke Malang untuk memastikan keberadaan Lia. ”Ya namanya saja dunia maya, bisa saja bohong kan, mas Adzim waktu itu mau memastikan bahwa saya memang benar-benar ada,” ungkapnya.
Setelah pertemuan pertama tersebut, Adzim langsung meminta (melamar) Lia di pertemuan kedua. ”Tapi saya jawab, kalau mau meminta ya ke ayah saya. Ternyata Mas Adzim serius dan menghadap ayah, meski setelah itu langsung kembali ke Mekkah,” tambahnya.
Praktis sejak saat itu mereka menjalani hubungan jarak jauh, hingga bertemu kembali ketika Lia berangkat haji di tahun 2003. Itu pun bukan pertemuan layaknya dua muda mudi yang sedang berpacaran seperti jamak terjadi saat ini, mereka sekadar say hello dan bertatap muka saja. Maklum, Lia sedang beribadah, Adzim pun menjadi pembimbing jamaah haji di sela tugasnya sebagai mahasiswa.
”Kami menikah setelah Mas Adzim selesai kuliah di tahun 2004, itu pun sangat mendadak lho. Saya ingat, tanggal 25 April, mas Adzim dan keluarga bersilaturahim ke rumah, bilangnya hanya mau main saja, nggak tahunya minta menikah saat itu juga, hehehe,” kata Lia mengisahkan.
Permintaan (ngotot) Adzim tersebut direspon orang tua Lia yang kemudian menikahkan keduanya. ”Nikah siri. Tapi setelah nikah, Mas Adzim kembali ke Jember,” tambah Lia yang mencatatkan pernikahannya pada 23 Juli 2004 dan menggelar resepsi dua hari kemudian.(han)