APRESIASI: Fransiska R.B (kiri) saat memaparkan pemikiran-pemikirannya bersama Heather Coble di Amcor kemarin.
MALANG - Amerika Serikat dan Indonesia adalah dua negara yang layak menjadi contoh kiprah perempuan dalam politik. Walaupun sebenarnya politik di Indonesia masih jauh tertinggal dari Amerika Serikat.
Hal ini diungkapkan Kepala Bagian Politik/Economy Konjen Amerika Serikat, Heather Coble, saat menjadi pembicara dalam diskusi women in politic yang digelar American Corner Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) kemarin. ”Situasi di Indonesia saat ini seperti Amerika masa lalu, dan saya yakin ini adalah proses yang baik menuju kehidupan politik perempuan ideal,” ungkap Heather.
Wanita ramah ini mengaku sangat menyukai perempuan Indonesia yang terjun dalam politik. Mereka rata-rata adalah perempuan pandai dan memiliki kepedulian tinggi. Menurutnya wanita di Indonesia tak perlu meniru sosok perempuan dari negara lain termasuk Amerika, karena belum tentu idealismenya bisa sama. Namun yang lebih penting adalah membuka wawasan diri sendiri dan membangun jejaring lebih luas lagi.
“Pendidikan dan bepergian itu penting agar kita bisa memiliki ide-ide baru yang berbeda. Ikutilah hati nurani mana yang lebih penting untuk didahulukan,” urainya. Wakil Dubes AS, Kristen F. Bauer menuturkan membahas perempuan dalam politik selalu menarik, apalagi bagi Indonesia dan AS. Kedua negara memiliki pengalaman unik yang layak dikaji. Bahkan Indonesia pernah memiliki presiden perempuan, sedangkan dirinya merupakan wakil Dubes yang sebelumnya adalah Konjen AS di Surabaya.
“AS dan Indonesia adalah contoh yang sangat baik dalam kehidupan perempuan dalam politik,” kata Kristen. Acara yang juga dihadiri rektor UMM, Muhadjir Effeny, diikuti tak kurang 100 peserta dari kalangan dosen dan mahasiswa. Selain Kristen, pembicara yang tampil adalah politisi Partai Hanura Ananda Ya’qud, mantan komisioner KPU Mutmainnah Mustofa, dan politisi Partai Demokrat, Fransiska R.B.
Sebagai politisi di DPRD Kota Malang, Ananda mengaku kesibukannya cukup menyita waktu. Namun demikian baginya keluarga harus tetap diprioritaskan. “Perempuan harus membuat network atau jaringan dan meningkatkan kualitas dirinya agar mampu bersaing di dunia yang bagi kebanyakan perempuan lainnya dianggap menakutkan. Baik dari bidang birokrasi, perundang-undangan dan keuangan yang cukup menguras kantong,” katanya.
Terkait kuota 30 perempuan untuk perempuan Mutmainnah mengaku risau karena selama ini menjadi broker dalam memenuhi kuota tersebut. Sepertinya parpol hanya membutuhkan perempuan hanya untuk memenuhi kuota. “Padahal banyak sekali perempuan yang mampu dan berkompeten dalam berpolitik namun mereka enggan dan malas untuk mau ikut serta meskipun sudah ada wadah untuk mengembangkan kemampuan mereka,” ujarnya.
Bagi mantan komisioner KPU Kota Malang ini, keluarga mengetahui potensi perempuan dan memberikan dukungan pada perempuan. “Jangan takut akan perceraian, yang perlu diingat adalah tetap seimbang antara keluarga dengan karir,” katanya.
Di sisi lain, Fransiska mengungkapkan bahwa 12 Parpol di kota Malang memiliki anggota perempuan di dalamnya. Idealnya, keberadaan perempuan dalam fraksi tersebut untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang ada. “Perempuan harus memiliki sikap yang sama dan saling bergandengan tangan. Perempuan juga harus mampu dan mau belajar serta membaca undang-undang yang ada jika ingin berpolitik,” terang Fransiska.(oci/eno)