Urgensi Program Studi Produk Halal di Indonesia

Author : Humas | Thursday, September 29, 2016 11:16 WIB | Malang Post -

Oleh Rahmad Hakim,  Dosen Ekonomi Syariah, FAI Universitas Muhammadiyah Malang.

Prospek Indonesia menjadi pusat sentral pariwisata halal dunia dilihat dari sudut pandang pasar nampak menjanjikan, mengingat mayoritas warga Indonesia adalah beragama Islam. Dan jumlah ini, merupakan terbesar di dunia. Singkat kata, pasar untuk produk maupun indusri halal sangat lebar di negeri ini.
Pada tahun 2015 yang lalu, jumlah wisatawan asing muslim yang berkunjung ke Indonesia mencapai 2 juta orang. Namun, prospek yang begitu besar memerlukan sumber daya manusia yang besar pula. Data yang dirilis oleh World and Tourisme Council pada tahun 2014, kebutuhan SDM sektor pariwisata sebesar 11 juta orang. Jumlah ini, disniyalir akan bertambah sebesar 400 ribu orang per-tahun hingga 2019. Dengan demikian, menyiapkan SDM yang concern terkait dengan produk halal; baik pariwisata, maupun produk halal lainnya, merupakan suatu hal yang urgen dan mendesak untuk dilakukan. Apalagi dengan keberadaan Undang-Undang, No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
 
Berkaca pada Ekonomi Syariah
Mengingat industri halal yang sangat-sangat prospektif dimasa mendatang. Penting bagi pemerintah maupun para stakeholders untuk berkaca kepada industri ekonomi syariah yang beberapa dasawarsa terakhir menjadi trend setter di Indonesia. Boleh dikatakan, ‘demam syariah’ dalam transaksi barang maupun jasa berawal dari sektor perbank syariah. Fenomena ini menjalar, mulai dari bakso syariah, spa syariah, hotel syariah hingga kolam renang syariah. Kata ‘syariah’ seolah menjadi jaminan mutu untuk menarik minat pelanggan, yang memang mayoritas adalah ummat Muslim.
Berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991, ternyata tidak diiringi dengan dibukanya program studi ekonomi atau perbankan syariah di pendidikan tingkat tinggi, baik PTN maupun PTS. Sehingga ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi ekonomi atau perbankan syariah menjadi minim, atau bahkan sangat langka. Alhasil pos tersebut diisi oleh mereka yang memiliki kompetensi yang tidak linier dengan bidang ini. Guna menutupi kekurangan akan pengetahuan mengenai ekonomi syariah atau perbankan syariah, mereka mengambil pelatihan jangka pendek (short-course) terkait ekonomi syariah atau perbankan syariah. Sungguhpun demikian, hal ini berpengaruh terhadap kinerja dan citra perbankan syariah. Bahkan penulis berpengalaman untuk berdialog dengan salah seorang pegawai bank syariah, dan beliau secara terus terang berkata kepada penulis bahwa pengetahuannya tentang bank syariah sangat minim, disebabkan background pendidikan yang tidak linier.
Tercatat, program studi ekonomi syariah atau perbankan syariah baru dibuka di perguruan tinggi; baik PTN maupun PTS kurang lebih lima belas tahun (antara tahun 2005-2008) setelah keberadaan bank Mualamat Indonesia pada tahun 1991. Pengalaman diatas penting untuk dipelajari, agar pemerintah yang memiliki kewenangan maupun stakeholders dapat merespon cepat peluang di industri halal ini dengan pembukaan program studi produk maupun industri halal di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Mengingat pamor industri atau produk halal (khususnya pariwisata halal) sangat ‘memikat’ perhatian warga muslim Negara-negara lain di dunia. Jika gagal memanfaatkan potensi yang ada, maka industri halal di Indonesia akan tertinggal jauh dengan negar-negara lainnya. Ironis memang, jika demikian yang terjadi. Naudzubillah.

Menilik Respons Negara Tetangga
Marilah kita lihat sejenak respons yang dilakukan oleh negeri jiran kita Malaysia. Respon mereka begitu cepat. Khususnya dalam mempersiapkan SDM yang concern pada industi  atau produk halal. Respon tersebut dapat dilihat dengan dibukanya beberapa program studi industi atau produk halal di beberapa perguruan tinggi Malaysia, diantaranya; Univesiti Sains Islam Malaysia (USIM) yang telah membuka program studi muamalat administration (halal product), Univesiti Teknologi Malaysia (UTM) telah membuka program studi master of philosophy (halal science), di Universiti Petanian Malaysia (UPM) telah membuka program master of science in halal products management, halal products science, halal products development, serta syariah and Halal Laws.
Tidak ketinggalan pula di Universiti Islam Antarbangsa Malaysia (IIUM) yang telah membuka program studi Master Of Arts In Halal Industry Management (MAHIM), Master Of Science In Halal Industry Science (MSHIS), dan Halal Industry. Tidak tanggung-tanggung, program studi yang dibuka adalah jenjang magister (S2), bahkan di dua kampus yang tersebut terakhir (UPM dan IIUM) telah dibuka program doktoral untuk industri halal. Sementara itu, di Indonesia baru berdiri beberapa pusat kajian tentang produk atau makan halal. Seperti di kampus ITB, UMM, Brawijaya dan lain sebagainya, yang terakhir adalah di STP Bandung yang membuka halal Tourism Center. Meskipun kontribusi pusat kajian ini tidak dapat dianggap remeh, namun berdirinya sebuah prodi industri halal akan memberikan dampak yang lebih luas terhadap supply sumber daya manusia untuk mengembangkan industry halal di Indonesia.  
Pentingnya sebuah program studi produk halal setidaknya dapat dilihat dari beberapa perspektif, pertama; jumlah penduduk Indonesia mayoritas Muslim. Terhitung lebih dari 200 juta jiwa penduduk Muslim di Indonesia. Dalam ajaran Islam, sepatutnya makanan yang dikonsumsi harus halal dan baik. Maka penting untuk mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang concern untuk menangani masalah ini. kedua, pentingnya keberadaan jaminan halal pada setiap produk. Kehalalan sebuah produk menjadi faktor penting dalam meningkatkan penjualan (khususnya di Indonesia), beberapa kasus yang terjadi terkait kehalalan sebuah produk dapat menurunkan tingkat penjualan pada sebuah produk secara signifikan.
 Jika demikian faktanya, diperlukan SDM yang sangat banyak untuk menangani permasalahan jaminan halal sebuah produk. Selama ini yang terjadi, terkait jaminan kehalalan sebuah produk harus diselesaikan oleh beberapa elemen meliputi MUI, BP-POM dan pihak terkait lainnya. Hal ini berdampak terhadap slow respon, dan tingginya biaya pengurusan jaminan halal pada sebuah produk. Tak ayal banyak produsen yang asal-asalan dalam mengurus sertifikat halal. Ketiga, faktor pasar. Berbagai negara berlomba-lomba untuk menggarap potensi industri halal –baik negara Non-Muslim maupun Muslim. Berbagai usaha dilakukan untuk menjemput potensi yang ada pada industri ini.
 Di Amerika misalnya, sebagaimana dilaporkan oleh perusahaan riset Nielsen, diperkirakan penjualan produk halal hingga Agustus 2016 telah mencapai angka US$ 1,9 miliar, angka ini tumbuh secara siginifikan dibanding pada tahun 2012 lalu. Disisi lain, Dewan Pangan dan Gizi Islam Amerika Serikat memperkirakan penjualan produk halal secara keseluruhan akan mencapai USD 20 miliar tahun ini. fakta diatas menujukkan bahwa pasar produk halal ‘mulai’ menggeliat. Jika prospek industri ini semakian prosepektif, tiada salahnya bagi kita untuk sedia payung sebelum hujan. Maka penting kiranya untuk membuka program studi industri halal sebagai upaya menyambut indutri halal yang akan trend setter di masa mendatang. Wallahu A’lam bisshowab.
 

من المقطوع: http://www.malang-post.com/netizen/opini/urgensi-program-studi-produk-halal-di-indonesia
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: