Catatan Tinggal di Eropa (I): Perjalanan Menuju Sujud

Author : Humas | Thursday, October 04, 2012 12:00 WIB | Republika -
Catatan Tinggal di Eropa (I): Perjalanan Menuju Sujud
Portugal

REPUBLIKA.CO.ID,Saya kenal benua Eropa sewaktu ada pelajaran Ilmu Bumi di SD.  Masih teringat di memori saya betapa jauhnya Eropa dan saya tidak dapat membayangkan akan sampai disana.  Salah satu yang diterangkan oleh ibu guru adalah perbandingan peta benua Eropa dengan Indonesia.  Apabila peta Indonesia diletakkan di atas Eropa akan terlihat betapa panjang Eropa hampir sama dengan Indonesia, Sabang-Merauke hampir sama dengan London-Moskow.   Bayangan masa kecil itu hanya sebatas pengetahuan untuk dihafalkan saja dan akhirnya berlalu bersama waktu.  

Saya tidak pernah berpikir untuk sampai di Eropa nantinya. Itu sesuatu yang jauh, asing dan berbeda.  Itu terlalu muluk untuk dimimpikan, diharapkan dan dinyatakan.  Ya harap dimaklumi, saya hanya anak dari Bapak dan Ibu yang bekerja sebagai guru SD di kota kecil Trenggalek di pojok selatan Jawa Timur,  yang waktu kecil hanya dapat makan tiwul (ketela pohon yang dijadikan semacam nasi) dan setelah pindah ke kota Surabaya kehidupan “meningkat” dengan makan nasi (karena tidak ada tiwul) dengan lauk garam dan sayur minyak jlantah (minyak sisa menggoreng). Bertahun-tahun kami jalani dan bertahun-tahun kami syukuri. Nikmatnya……

Pada akhirnya saya mengikuti jejak Bapak dan Ibu (keduanya almarhum) menjadi guru.  Sejak tahun 1989, saya diangkat menjadi dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Malang. Bertahun-tahun saya jalani kehidupan selaku guru (atau dosen) dengan normal.  Tidak ada yang istimewa dalam kehidupan saya, saya orang biasa dan menjalani kehidupan dengan biasa saja.  Saya kemudian menikah dengan sesama dosen UMM dan dikaruniai tiga orang putra putri.  Menjelang usia setengah abad saya tetap mengabdi dengan setia di UMM, dan belum ada bayangan akan ke Eropa dalam jangka waktu lama.  Bagi saya, Eropa masih tetap benua yang terlalu jauh untuk dijangkau.  Meskipun saya pernah pergi keluar negeri, itu hanya di negara-negara yang dekat saja dan dibiayai oleh kampus (terima kasih pak Rektor).

Saya pernah membiayai perjalanan keluar negeri dengan hasil keringat sendiri yaitu dengan pergi ke Tanah Suci (namun itupun dibantu sepererempatnya oleh kampus, terima kasih pak Rektor dan pak PR II).  Hal itupun sudah saya syukuri.  Rasa syukur itu tidak berhenti saya ucapkan karena sedemikian banyak limpahan nikmat yang sudah saya terima.  Keluarga yang berkembang secara alami.  Satu persatu anak-anak mulai meninggalkan rumah.  Anak tertua sudah membangun keluarga sendiri.  Anak terakhir mulai kuliah di luar kota.  Apalagi yang harus difikirkan.  
Enaknya ...

Rumah mulai terasa sepi setelah anak kami satu persatu keluar kota.  Sampai akhirnya hanya tinggal kami berdua. Seolah-olah kami seperti berpacaran kembali.  Kemana-mana berdua, melakukan pekerjaan bersama, istirahat berdampingan, semuanya seolah-olah kembali seperti awal perkawinan.  Rasanya rumah kami terlalu besar untuk ditinggali berdua.  Ruangan atas yang berisi tiga kamar tidur untuk anak-anak senyap dan sepi.

Sering pada malam-malam sepi, berdua bersama istri merancang kehidupan setelah anak-anak meninggalkan rumah.  Tugas kami untuk mengantarkan putra-putri kami menuju ke kehidupan yang lebih baik, satu persatu Alhamdulillah terwujud.  Kami bayangkan nantinya tinggal sesekali menimang cucu kalau datang kerumah, atau kami yang ke rumah mereka.  Ah kehidupan yang sederhana.  Namun betapa cepatnya waktu berlalu.  Kewajiban kami sebagai orangtua mendekati selesai.  Sudah kami antarkan satu putri dan insya Allah akan kami antarkan dua putra kami menuju kehidupan baru.  Leganya ……

Kehidupan tiba-tiba menuju titik yang tidak terbayangkan sebelumnya.  Tahun 2010, UMM mengadakan kerjasama dengan universitas di Uni Eropa yang diwadahi dalam bentuk Program Erasmus Mundus.  Pada kesempatan pertama, sang istri selaku salah satu dosen yang berhak mengikuti, mendaftar untuk memperoleh beasiswa Erasmus Mundus program post doctoral.  

Alhamdulillah aplikasi sang istri diterima.  Negara tujuan penelitian adalah Austria di University of Innsbruck, di kota Innsbruck selama enam bulan.  Terasa sepi saat sang istri ada di Eropa.  Namun demikian, menjelang berakhirnya kegiatan di Eropa, saya berkesempatan pergi ke Eropa untuk menjemput sang istri.  Hampir satu bulan saya menikmati Eropa berdua, seperti bulan madu saja (atau bulan madu kedua ya).

Kami susuri jalan-jalan tua di centrum Innsbruck sambil menguyah almond, di tengah ramainya manusia menyambut Natal.  Kami daki puncak Alpen dan kemudian turun dengan kereta luncur sambil terbanting-banting dan bergulung-gulung sampai ke lereng. Kami tertawa berdua.  Kami jelajahi metro di Paris, berdampingan menyaksikan masa lalu di museum Louvre, melangkah bersisian di trotoar Elysse, dan menatap turunnya salju  di puncak menara Eifell.  Salju dimana-mana, putih disetiap permukaan tanah, beku disetiap hembusan nafas.  Kami memandang berdua.  Indahnya...


Wahyu Widodo
Dosen Univesitas Muhammadiyah Malang

من المقطوع: http://www.republika.co.id/berita/komunitas/perhimpunan-pelajar-indonesia/12/10/05/mbcj7g-catatan-tinggal-di-eropa-i-perjalanan-menuju-sujud
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: