Peringatan HUT TNI AU |
REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini dinilai berada dalam posisi yang dilematis. Satu sisi ingin memodernisasi alutsistanya, yang tentunya membutuhkan anggaran yang relatif besar. Namun, di sisi lain, juga harus memperhatikan kesejahteraan prajuritnya. Demikian menurut Pengamat militer dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr Muhajir Effendi.
"Kita saat ini memang dalam kondisi dilematis, sebab kondisi alutsista kita membutuhkan anggaran yang cukup besar sebagai alat pertahanan negara, dan kesejateraan prajurit juga harus mendapat perhatian karena kesejahteraan prajurit kita sekarang masih rendah," tegas Muhajir di Malang, Jatim, Jumat (5/10).
Anggaran militer dalam APBNP 2012 yang mengalami kenaikan sekitar 35 persen, dari 47,5 triliun menjadi Rp 64,4 triliun itu cukup menggembirakan dalam skema pembenahan dunia militer di Tanah Air.
Hanya saja, katanya, kenaikan sebesar 35 persen itu porsinya harus dibagi secara adil, artinya porsi untuk peningkatan kesejahteraan prajurit dan memodernisasi alutsista (alat utama sistem senjata) harus adil (proporsional).
Apalagi, lanjutnya, pengadaan alutsista juga membutuhkan biaya yang sangat besar, sehingga harus ada solusi alternatif yang saling menguntungkan. Salah satu solusinya adalah bekerja sama dengan negara lain yang memiliki keunggulan daripada membeli dari negara maju.
Ia mencontohkan, adanya kerja sama produksi ('joint product') dengan beberapa negara untuk memodernisasi alat utama sistem senjata atau alutsista.
Doktor yang mengupas masalah militer tersebut menyarankan, kerja sama produksi itu bisa dilakukan dengan Korea Selatan dan Cina, sedangkan untuk teknologi rudal bisa menggandeng Iran. Kesempatan dan peluang untuk melakukan kerja sama produksi tersebut cukup terbuka.
Keuntungan lain yang bisa didapat Indonesia dari kerja sama produksi itu, tegasnya, bisa mengurangi biaya ('cost'). Namun, yang lebih penting lagi adalah mengurangi tingkat ketergantungan Indonesia terhadap kebutuhan peralatan militer dari negara maju (besar).
Berdasarkan pengalaman selama ini, lanjut Muhajir, selain dibuat tergantung, banyak peraturan dan klausal-klausal perjanjian yang sangat mengikat dan itu merugikan Indonesia. Jika ada salah satu yang dilanggar maka embargo diberlakukan.
"Model kerja sama ini akan mampu menekan biaya pengadaan alutsista, sehingga peningkatan kesejahteraan prajurit bisa dimaksimalkan tanpa harus mengurangi kebutuhan menambah alutsista yang lebih canggih," tandasnya.