Din Syamsuddin; Nakhoda Baru Muhammadiyah

Author : Humas | Sunday, July 10, 2005 | Suara Karya -

Terpilihnya Din Syamsuddin sebagai ketua umum PP Muhammadiyah secara aklamasi di tingkat fungsionaris PP Muhammadiyah dan meraih suara terbanyak di kalangan peserta muktamar, sudah banyak diprediksi banyak kalangan.

Dalam perhitungan suara selama 2,5 jam pada Selasa (5/7) pukul 21.10 WIB itu, Din Syamsuddin mengumpulkan 1.718 suara, disusul Haedar Nashir (demisioner sekretaris PP) di urutan kedua dengan memperoleh 1.374 suara.

 

Urutan berikutnya hingga 13 nama adalah Muhammad Muqadas 1.285 suara, Malik Fadjar 1.277, Yunahar Ilyas 1.264, Rosyad Sholeh 1.209, Dahlan Rais 1.135, Goodwill Zubeir 934, Zamroni 910, Mukhlas Abror 897, Bambang Sudibyo 881, Fasich 802, dan Sudibyo Markus 776 suara.

Padahal, mantan Ketua DPP Sementara Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada 1985 dan mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah (1989-1993) itu sebelumnya sempat "digoyang" di arena muktamar ke-45 Muhammadiyah di kampus III Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Goyangan terhadap Din muncul di arena muktamar ke-45 Muhammadiyah berupa buku kecil yang merupakan "black campaign" (kampanye negatif) untuk mendiskreditkan dirinya.

Buku kecil berjudul "Din Syamsudin, Sang Ambisius, Penghancur Muhammadiyah" itu bergambar foto Din dengan menggunakan topeng dan berisi lima topik yakni Din Syamsudin Sang Ambisius, Managemen Tukang Cukur, Tidak Memahami Tradisi Muhammadiyah, Menjerumuskan Muhammadiyah, dan Amal Usaha Dijadikan Agunan.

Di akhir topik juga dilengkapi dengan lampiran surat-surat sejumlah pimpinan wilayah tentang Bank Persyarikatan Indonesia (BPI) dan surat Amien Rais kepada anggota pleno PP Muhammadiyah tentang hal yang sama.

Namun, buku kecil yang dibagikan kepada pimpinan wilayah Muhammadiyah (PWM) dan pimpinan daerah Muhammadiyah (PDM) se-Indonesia sejak April lalu akhirnya dibakar oleh panitia muktamar pada 2 Juli lalu atau sehari sebelum muktamar dimulai.

"Buku itu menilai Pak Din itu orangnya pendek, kalau bicara selalu melihat ke atas, kalau lewat nggak menyapa orang, dan sebagainya. Semuanya itu nggak benar, karena itu kami bakar," kata panitia daerah muktamar ke-45 Muhammadiyah H Nidzom Hidayatulloh.

Salah seorang wakil ketua PW Pemuda Muhammadiyah Jatim itu menjelaskan buku setebal 105 halaman itu menggunakan nama Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) sebagai pihak yang menerbitkan, namun hal itu hanya "atas nama" atau klaim untuk mengadu domba kalangan Muhammadiyah.

"Pembuat buku sebanyak itu `kan punya dana besar dan tentu berharap hasil besar. Saya kira pembuatnya itu orang yang pintar berpolitik," katanya seperti dikutip Antara.

Senada dengan itu, Ketua Bidang Hikmah IMM Jatim Syafruddin Budiman mengatakan tim kecil IMM Jatim menemukan buku gelap itu disebarkan pada 38 Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah se-Jatim yang setiap kabupaten/kota mendapatkan 100-200 buku.

"Itu di Jatim saja, tapi pembuatnya memang tidak main-main, karena memang dia bertujuan memunculkan rasa saling curiga antar kader Muhammadiyah dan antar peserta muktamar," katanya.

Ibarat bola yang ditekan di dalam air, maka pria kelahiran Sumbawa Besar pada 31 Agustus 1958 itu pun semakin digoyang justru semakin melejit namanya ke permukaan "panggung" Muhammadiyah sebagaimana posisi utama dari ke-13 nama yang dipilih muktamirin.

Tampilnya suami Fira Beranata dan ayah tiga anak di pucuk pimpinan persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 18 Nopember 1912 itu agaknya mendorong gerbong pembeliaan (regenerasi) dalam kepemimpinan Muhammadiyah.

Din Syamsuddin yang alumnus KMI Pondok Pesantren Gontor (1975) dan Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1982) itu merupakan sosok ulama-intelektual, organisatoris ulung, dan luas pergaulan dengan kelompok-kelompok Islam maupun umat agama-agama lain.

Yang tak kalah pentingnya, alumnus master of art (1982) dan doctor of philosophy (1996) di University of California Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat itu juga mewakili kalangan generasi muda sejak muktamar ke-44 Muhammadiyah di Jakarta pada lima tahun silam.

Guru besar (profesor) di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang menguasai sedikitnya empat bahasa asing (Arab, Inggris, Persia, dan sedikit Prancis) itu mewakili kalangan muda, karena dia mengawali aktivitas di Muhammadiyah sebagai anggota IMM.

Din pernah menjabat posisi ketua Dewan Pimpinan Pusat (sementara) IMM pada 1985 dan menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah periode 1989-1993.

Pasca-muktamar di Banda Aceh (1995), ia menjadi anggota Majelis Hikmah PP Muhammadiyah dan semasa Buya Syafii Ma`arif memimpin Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din menjadi wakil ketua.

Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Pusat dan Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat itu juga menjadi anggota Majelis Tinggi Dakwh Islam Internasional (di Tripoli) dan Presiden Konferesi Asia untuk Agama dan Perdamaian (berpusat di Tokyo).

Selain itu, di kancah internasional, Din juga menjadi Ketua Panitia Dialogue on Interfaith Cooperation: Community Building and Harmony atau Dialog Kerjasama Antar-agama: Membangun Kebersamaan dan Keharmonisan di Yogyakarta pada 6-7 Desember 2004 yang dihadiri tokoh-tokoh masyarakat lintas-agama dan pemerintahan se-Asia Pasifik.

Kegiatan itu merupakan salah satu cara mempromosikan sikap-sikap toleransi dan dialog lintas-agama serta pemahaman agama dan budaya, harmoni, kerjasama, persamaan kemerdekaan, solidaritas, dan toleransi di tingkat internasional.

Yang terbaru adalah Din tampil sebagai panelis di konferensi internasional antar-agama dan budaya bertajuk International Conference on Interfaith Cooperation for Peace (Konferensi Internasional tentang Kerjasama Antar-agama untuk Perdamaian) di markas besar Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, 22 Juni 2005.

Tampilnya Din itu agaknya sesuai harapan Buya Syafii Ma`arif (ketua umum PP Muhammadiyah 2005-2010), karena Buya dalam berbagai kesempatan selalu menegaskan bahwa regenerasi di tubuh Muhammadiyah memang harus dilakukan.

Pengamat politik dari CSIS Indra J Piliang menyatakan, dengan latar belakang sebagai politisi maka Din Syamsuddin merupakan sosok yang tepat untuk memimpin organisasi kemasyarakatan keagamaan Muhammadiyah dalam situasi politik di tanah air seperti saat ini.

"Kekuatan Din itu karena dia politisi, paham politik. Dalam iklim politik seperti sekarang ini, dia lebih mampu untuk bermain, menghindar dan bersembunyi. Tapi bukan berarti Muhammadiyah harus berpolitik karena kalau itu dilakukan justru akan hancur," kata Indra.

Indra lantas mencontohkan berbagai kemajuan yang dicapai ormas keagamaan lainnya, Nahdlatul Ulama (NU), yang saat ini juga dipimpin oleh tokoh yang berlatar belakang politisi, KH Hasyim Muzadi. Karena ketuanya memahami dunia politik, kata Indra, maka NU yang memiliki pengikut berjumlah besar tidak gampang dimanfaatkan partai politik.

"Jadi paham politik itu justru akan memperkuat ormas, berbeda jika yang memimpin awam dengan politik. Bagi saya NU dan Muhammadiyah itu tak harus apolitik meski tidak terlibat politik praktis," katanya.

 

Harapan dan optimisme terhadap Din Syamsuddin sudah membuncah. Kini tinggal Din Syamsuddin sendiri sebagai nakhoda baru Muhammadiyah membuktikan ucapan dan pujian yang sudah diumbar oleh banyak kalangan. Sanggupkah ? (Victor AS)

من المقطوع: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=114711
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: