Kontroversi Partai Lokal di Aceh

Author : Humas | Tuesday, July 19, 2005 | Suara Karya -

Perundingan informal antara Pemerintah Republik Indonesia dan kelompok Gerakan Separatis Aceh (GSA) di Helsinki, Finlandia, telah menyepakati beberapa hal yang penting, tetapi masih ada beberapa butir bahasan tetap menjadi ganjalan. Salah satu yang bisa dicatat adalah pihak GSA telah melepaskan tuntutan merdeka. Dengan demikian, perundingan ini sudah harus dipertegas lingkupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Posisi yang semula hanya ada pada pihak Pemerintah Indonesia harus sudah pula menjadi posisi bagi pihak GSA.

Namun, masalahnya sekarang adalah pihak GSA menuntut dibukanya peluang pembentukan partai politik lokal. Dan, butir lain yang masih dibahas adalah tentang keikutsertaan mantan anggota GSA dalam pemilihan kepala daerah di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dengan kata lain, dari partai lokal itu, kelak ada atau muncul calon kepala daerah melalui pilkada.

 

Tentang keikutsertaan mantan anggota GSA dalam pemilihan kepala daerah masih terbuka untuk dibahas. Sebab, pada dasarnya setiap warga negara bisa mencalonkan diri untuk menjadi kepala daerah sejauh memenuhi persyaratan, dan untuk terpilih harus memiliki dukungan dari rakyat dalam pemungutan suara. Dan, mantan anggota GSA sebagai warga negara tetap memiliki hak untuk keikutsertaan tersebut.

Namun, tentang parpol lokal, isu ini akan menjadi sensitif bahkan bisa menimbulkan lebih banyak masalah. Dimungkinkannya mendirikan parpol lokal jelas akan mempunyai konsekuensi perubahan pada sejumlah UU bidang politik. Setidaknya menyangkut UU No 31/2002 tentang Parpol, UU No 12/2003 tentang Pemilihan Umum, UU No 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, dan UU No 23/2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Karena itu, muncul pertanyaan, bagaimana menyikapi negosiasi yang diajukan GSA tersebut? Menjawab pertanyaan itu, tentu dibutuhkan sikap ekstra kehati-hatian. Hemat penulis, jika pemerintah menyetujui dibentuknya parpol lokal GSA jelas akan berimplikasi pada keamanan Indonesia sendiri, bahkan mendatangkan masalah baru.

Setidaknya, hal itu dapat dijelaskan dengan beberapa alasan. Pertama, parpol lokal khusus untuk Aceh, tampaknya memberi peluang tetap adanya sekat-sekat sosial yang menghambat proses menuju sebagai bagian dari satu bangsa, Bangsa Indonesia. Bahkan, sekat-sekat sosial dalam masyarakat Aceh yang timbul akibat konflik berkepanjangan akan dilestarikan oleh partai politik lokal yang muncul. Proses perekatan masyarakat Aceh dalam lingkup Aceh, maupun NKRI justru akan terganggu.

Cukup besar kemungkinan bahwa kelompok-kelompok yang muncul selama konflik berkecamuk akan bermetamorfosa dalam bentuk parpol lokal. Hakikat politik yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan justru bisa menimbulkan berbagai masalah di Aceh sendiri. Sementara dalam keseluruhan Indonesia, perubahan UU bidang politik bisa menimbulkan masalah. Sebab, lahirnya UU tentang NAD pada dasarnya tidak memberi keistimewaan dalam bidang politik.

Kedua, implikasi politik. Artinya, jika diizinkan ada partai lokal di Aceh, sangat mungkin muncul ketidakstabilan politik di tingkat lokal. Sebab, sangat mungkin partai lokal itu tidak memiliki platform yang bersumber pada ideologi politik Indonesia. Bahkan, sangat mungkin partai lokal tersebut memiliki visi perjuangan politik tidak dalam kerangka NKRI. Dengan kata lain, jika partai lokal yang dituntut GSA diizinkan, hal itu sama saja dengan memberikan kesempatan kepada rakyat Aceh menyalurkan aspirasi politiknya untuk tujuan memisahkan diri dari NKRI.

Berarti, dalam jangka panjang, hal tersebut memberikan basis yang kukuh bagi GSA melalui partai lokalnya untuk mendapatkan legitimasi politik guna memperjuangkan negara Aceh yang berdiri sendiri, terpisah dari RI.

Dalam konteks ini, kita berharap GSA bisa mempertimbangkan posisinya. Sebab, dengan pernyataan menerima NKRI dan melepaskan tuntutan merdeka, nama "GAM" yang mengandung kata "merdeka" -- dan selama ini disandangnya -- sudah tidak relevan lagi. Keterlibatan dalam proses politik bagi mantan anggota gerakan ini pada dasarnya tetap terbuka dalam parpol yang ada atau parpol baru yang bisa dibentuk menurut ketentuan UU Parpol. Lagi pula, tidak cukup argumentasi bahwa untuk pemulihan Aceh diperlukan parpol lokal.

Parpol lokal bisa jadi jalan bagi GSA sekadar untuk bermetamorfosa sehingga akar masalah tidak bisa sepenuhnya diselesaikan. Dan, pandangan seperti ini bahkan memberi pembatasan bagi sebagian warga Aceh, khususnya mantan anggota GSA, untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia dan terlibat dalam politik yang tidak hanya lokal Aceh, tetapi juga nasional. Dengan sikap melepas tuntutan merdeka, kita berharap perundingan ini didasari pandangan yang nasional oleh kedua pihak.

Terlepas dari pro-kontra soal parpol lokal di Aceh, sebenarnya ada permasalahan lain yang jauh lebih signifikan yang perlu terus diperjuangkan dan perlu diajukan ke meja perundingan, yaitu amnesti bagi tokoh-tokoh GSA. Jika mereka mau diamnesti dan mau kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, sesudah itu perlu diberi kesempatan untuk menjadi calon kepala daerah menggunakan kendaraan politik domestik.

Dalam hal ini, mereka boleh maju menjadi calon kepala daerah menggunakan partai-partai politik nasional di Aceh seperti PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), PPP, PKB, PKS, dan Partai Demokrat.

Mengapa yang sangat perlu adalah amnesti, bukan partai politik lokal? Sebab, amnesti merupakan bentuk pengakuan -- sebelum diberi ampunan -- pada NKRI.

Dengan amnesti, seseorang mengakui bahwa dirinya menerima kenyataan, Indonesia adalah tanah airnya. Dia mengakui bahwa Indonesia adalah negaranya.

Hal itulah yang membedakannya dengan pendirian partai politik lokal. Dalam partai politik, sangat mungkin ideologi perjuangannya memiliki tujuan-tujuan jangka panjang yang bersifat separatisme.

Apalagi, yang perlu dipahami para perunding RI, kita sudah memberikan ruang toleransi yang sangat terbuka. Kita sudah memberikan kesempatan yang sangat besar bagi GSA untuk turut membangun Aceh dalam kerangka otonomi khusus.

Semestinya, aspirasi GSA dan aspirasi para pendukungnya -- di luar aspirasi untuk memisahkan diri dari NKRI -- cukup disalurkan dalam kerangka otonomi khusus Aceh.

 

Soal otonomi khusus Aceh yang punya kekurangan dan kelemahan, itu adalah wajar. Persoalannya, kelemahan dan kekurangan tersebut perlu diperbaiki bersama-sama melalui pembangunan politik di Aceh dalam lingkup NKRI. ***
Penulis mahasiswa Tarbiyah FAI
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

من المقطوع: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=115592
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: