SURYA Online, SURABAYA – Pengamat di Jawa Timur menilai kiat politik anggaran yang dipaparkan Joko Widodo dalam Debat Kandidat Capres dan Cawapres di Balai Sarbini, Jakarta, Senin (9/6/2014) malam merupakan ide lama.
Jika diterapkan, kebijakan itu dikhawatirkan memicu perlawanan dari pemerintah daerah (Pemda) terhadap pemerintah pusat. Jika itu terjadi, dipastikan akan membuat tegangnya hubungan antara Pusat dengan Daerah.
Anggota Dewan Pakar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof Dr M Mas'ud Said mengatakan, apa yang dipaparkan Jokowi sebenarnya sudah termaktub dalam peraturan perundangan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sumber keuangan lebih dari 500 pemerintah kota dan kabupaten 85 persen berasal dari pemerintah pusat.
Sehingga kalau ada daerah yang tidak efektif dalam menyerap anggaran, apalagi jika anggaran sampai bocor, maka alokasi anggaran dari pusat akan dikurangi. Selain itu, pemda juga diharuskan menjalankan pembangunan sesuai dengan perencanaan nasional.
“Jadi, ide politik yang disampaikan Pak Jokowi dalam debat tadi malam sebenarnya bukan hal baru,” tegasnya, Selasa (10/6/20104).
Menurut Mas’ud yang juga Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah ini, problem yang dihadapi Indonesia selama ini bukannya tidak ada anggaran. Tapi lebih kepada penggunaan anggaran yang kurang tepat.
“Persoalan lain yakni kepemimpinan daerah yang kurang kuat dan manajemen pemerintahan daerah yang amburadul juga jadi penyebabnya,” katanya.
Ketika debat Capres-Cawapres, Senin malam, Jokowi memaparkan kiat khusus membuat takut pemda yang mokong dan tidak mengikuti perintah pusat, dengan menerapkan politik anggaran.
"Kenapa daerah tidak mengikuti pusat? Sebenarnya, bisa membuat daerah mengikuti (pusat) dengan cara politik anggaran, karena 85 persen anggaran daerah itu dari pusat, dengan politik anggaran bisa kendalikan daerah," tegas Jokowi.
Pengamat Politik Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Agus Krisnanto menilai politik anggaran ala Jokowi dikhawatirkan akan menimbulkan resistensi pemda. Pasalnya, penilaian terhadap pemerintah pusat biasanya sangat subyektif dan akan memunculkan kecemburuan sosial.
Pihaknya, kata Agus khawatir, kalau sistem penganggaran seperti itu jadi diterapkan justru akan menimbulkan praktik korupsi baru di Indonesia. Karena penilaian antara pusat cenderung subyektif dan hanya akan mengakomodir kepentingan daerah yang dinilai sejalan dengan kebijakan pusat.
"Kalau hal itu tidak dilakukan, seolah-olah ada sentralisasi seluruh kebijakan. Makanya gagasan Jokowi tersebut justru akan bertolak belakang dengan semangat otonomi daerah yang sudah ada,” tandasnya.