Sudah lebih dari setengah tahun kantor bantuan hukum Universitas Muhammadiyah Malang sepi. Tak ada orang yang duduk menunggu dilayani. Tak lagi terdengar dering telepon dan detak lembut keyboard komputer. Hampir tak ada kegiatan sama sekali. Padahal, sebelumnya, Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH), demikian nama lembaga bantuan hukum universitas itu, selalu sibuk. Banyak warga Malang, terutama mereka yang tidak mampu, datang ke sana meminta bantuan hukum. LKPH-lah harapan mereka karena di kantor ini bantuan hukum bisa mereka dapatkan gratis. "Untuk sementara kegiatan LKPH vakum. Kami tak bisa memberikan pelayanan hukum lagi ke masyarakat," kata Tongat, salah seorang pendiri lembaga itu.
Tutupnya LKPH bermula dari suatu hari pada Desember 2003. Ketika itu, Tongat bersama dua rekannya, Achmad Fuad Usfa dan Sumnali, pergi ke kantor polisi mendampingi Rudy, seorang klien mereka. Bukan urusan besar, cuma urusan pelanggaran lalu lintas biasa. Tapi, tanpa mereka duga, polisi meminta ketiganya menunjukkan bukti identitas sebagai advokat. Tongat dan kedua koleganya kaget. "Sebelumnya, kami tak pernah ditanyai soal identitas itu," kata dia. Tentu saja mereka tidak punya identitas yang diminta. Polisi pun tak peduli. Mereka tetap dilarang mendampingi Rudy selama pemeriksaan. "Saya kecewa, klien saya sampai stres," kata Tongat.
Itulah pertama kalinya para "pengacara kampus" tadi tahu bahwa ternyata mereka tersandung Undang-Undang Advokat, UU No. 18/2003, yang umurnya baru sekitar setahun. Menurut pasal 31 undang-undang ini, siapa pun yang tidak memiliki izin advokat dilarang "bertindak seolah-olah sebagai advokat," termasuk memberikan konsultasi hukum dan melakukan litigasi. Dan ini bukan pasal main-main. Ancaman hukuman terhadap pelanggarnya cukup berat, bisa penjara hingga lima tahun dan denda hingga Rp 50 juta. Inilah pasal yang dipakai polisi untuk mengganjal upaya. Tongat dan kawan-kawan mendampingi Rudy. "Undang-undang itu memasung kami," kata Tongat kesal.
LKPH tentu tidak tinggal diam. Mei lalu, Tongat mengajukan judicial review (permohonan pengujian) ke Mahkamah Konstitusi. Dasar pengajuan adalah Tongat merasa biro hukumnya dirugikan oleh pasal 31 tadi. Sebelum ada UU Advokat, kata Tongat, lembaganya telah lama bergerak di bidang advokasi hukum untuk masyarakat yang tidak mampu. "Kegiatan kami ini bisa ditafsirkan sebagai advokat," ujarnya.
Bukan hanya Tongat dan LKPH-nya yang tersandung pasal seolah-olah. Sejak UU No. 18/2003 berlaku, hampir semua biro bantuan hukum di perguruan tinggi tak bisa lagi melakukan aktivitas. Banyak orang yang datang dan meminta bantuan hukum untuk kasus yang mereka hadapi, tapi para pengelola biro tak bisa melayani. "Karena itu, kita mendukung pasal 31 direvisi," kata Muhammad Jamin, salah seorang pendiri dan pengurus Badan Mediasi dan Bantuan Hukum (BMBH) Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo.
Selama ini, mendirikan biro hukum perguruan tinggi adalah perkara mudah. Izin yang diperlukan hanya satu, dari pengadilan tinggi setempat. Bahkan Mahkamah Agung pada 2003 mengeluarkan surat keputusan yang intinya mengizinkan lembaga bantuan hukum fakultas atau sekolah tinggi hukum berpraktek memberikan bantuan hukum. Tak aneh, biro hukum kampus pun menjamur. Umumnya "pendekar hukum" kampus ini adalah mahasiswa tingkat akhir dan dosen fakultas hukum. "Yang kami tangani selama ini kebanyakan orang kecil. Jadi, ini memang misi pengabdian," ujar Jamin.
Misi pengabdian itulah yang kini harus berhenti. Menurut Jamin, jika ini terus berlangsung, kerugian bukan hanya menimpa para pencari keadilan yang tidak mampu, tapi juga kualitas pendidikan hukum di perguruan tinggi. Dengan mendirikan lembaga bantuan hukum, mahasiswa dan dosen bisa terjun langsung ke luar bangku kuliah menghadapi persoalan-persoalan hukum. Karena ada larangan berpraktek, pengalaman untuk memperkaya ilmu seperti itu, kata Jamin, tak akan ada lagi.
Dan memang itulah yang terjadi. Di Malang, biro hukum Universitas Muhammadiyah Malang, yang sudah berdiri sejak 1980, sekarang praktis menganggur. Tak ada lagi mahasiswa dan dosen hukum yang melakukan kegiatan advokasi. Satu-satunya yang bisa mereka lakukan ya sekadar memberikan "penerangan" hukum kepada klien yang tidak tahu-menahu dan terus datang.
Situasi serupa terlihat di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Di sini, delapan dosen yang mengelola biro bantuan hukum tersebut bak macan ompong, meski sebagian dari mereka sebetulnya memiliki izin sebagai pengacara. "Memang mereka punya izin pengacara, tapi UU No. 18/2003 mengatur pegawai negeri tidak boleh menjadi advokat. Jadi, tetap percuma," kata Kuntoro Basuki, salah seorang pengelola LKBH. Akibat undang-undang tersebut, sejumlah kasus yang ditangani biro bantuan hukum yang berdiri sejak empat tahun silam itu kini menggantung.
Lantaran merasa dipasung oleh undang-undang itu, kini sejumlah biro bantuan hukum perguruan tinggi merencanakan untuk bersama-sama mengajukan judicial review. "Pasal yang membatasi lembaga bantuan hukum di perguruan tinggi berpraktek di pengadilan harus diamendemen," kata Kuntoro.
Gugatan atas UU Advokat ini tak hanya muncul dari kalangan perguruan tinggi. Pada November 2003, Asosiasi Penasihat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI) juga sudah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Bedanya dengan tuntutan biro hukum kampus, APHI antara lain mempersoalkan penjelasan pasal 2 ayat 1 yang mengizinkan lulusan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dan Perguruan Tinggi Hukum Militer menjadi advokat. "Bukan hanya masalah independensinya. Kualitas mereka juga meragukan karena kurikulum hukum perguruan tinggi tersebut tidak selengkap kurikulum fakultas hukum umumnya," kata Dorma, Ketua Umum APHI.
Dorma juga meminta Mahkamah meninjau ulang pasal 32 yang tidak memasukkan APHI, organisasi beranggotakan 11 lembaga bantuan hukum, ke daftar organisasi yang diakui. Pasal 32 memang hanya mengakui delapan organisasi advokat, antara lain Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) dan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI). Dengan pengakuan itu, mereka tidak hanya sah berpraktek, tapi juga memiliki kewenangan besar karena, antara lain, berhak "menjadikan" seseorang sebagai advokat atau sebaliknya memecat advokat. "Kami menilai berbahaya jika hanya delapan organisasi itu, padahal di luar mereka masih banyak organisasi advokat," katanya.
Palu hakim Mahkamah Konstitusi memang belum diketuk. Tapi, jika semua lancar, akhir bulan ini Mahkamah akan membuat keputusan. "Ini sudah lama dan harus segera diputus," kata Laica Marzuki, salah satu hakim yang menangani kasus ini.
Ketua Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Uli Parulian, mengharap Mahkamah Konstitusi "mendengar" keluhan rekan-rekannya yang terganjal undang-undang itu. Di mata Uli Parulian, undang-undang itu memang lebih mengutamakan kepentingan komersial ketimbang sosial. "Padahal fungsi advokat itu harus mengedepankan kepentingan kelompok marginal," ujarnya. Karena itu, kata dia, pilihan terbaik adalah mengamendemen UU No. 18/2003.
Masalahnya, mengamendemen undang-undang tak semudah membalik tangan. Menurut anggota Komisi Hukum DPR, M. Akil Mochtar, pihaknya akan melihat minimal selama dua tahun dulu pelaksanaan undang-undang ini. "Tidak mungkin melakukan amendemen hanya melihat satu atau dua pasal," kata dia.
DPR, kata Akil Mochtar, kini sedang mempersiapkan RUU Bantuan Hukum yang akan mengatur biro-biro hukum berorientasi nonkomersial. Namanya juga baru persiapan, undang-undang bantuan hukum itu jelas masih lama bisa terwujud. Padahal, sementara undang-undang baru belum lahir, UU No. 18/2003 juga belum diamendemen, para pencari keadilan masih terus mengalir ke biro-biro hukum murah, bahkan gratis, yang terpaksa kini menjadi macan ompong.