PALEMBANG - Menghadapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Desember 2015, etika bisnis menjadi poin penting yang wajib dipegang semua pelaku usaha. Tanpa adanya etika bisnis, penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga peradilan maupun di luar pengadilan atau arbitrase akan sia-sia.
“Pemberlakuan MEA sudah di depan mata. Potensi adanya perselisihan atau sengketa bisnis pasti akan terjadi. Untuk menghindarinya, etika bisnis harus dijalankan. Ketika berbisnis, budaya jujur, dan sukarela harus ditanamkan. Jika ada utang mesti dibayar agar tidak muncul sengketa. Jika sudah selesai perkara di arbitrase tidak memperkarakannya kembali ke pengadilan. Nah sekarang ini kebiasaan itu tidak banyak di jalankan pelaku usaha sehingga muncul sengketa-sengketa bisnis,” ujar Guru Besar Universitas Muham madiyah Malang sekaligus pengamat hukum arbitrase, Prof Hj Rahayu Hartini, usai seminar penguatan lembaga arbitrase untuk penyelesaian sengketa bisnis memasuki MEA 2015 di Arista Hotel Palembang, kemarin.
Menurut dia, perusahaan meyakini bahwa prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan menaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Bahkan etika bisnis ini pula dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh karyawan termasuk manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang jujur, transparan dan sikap yang profesional.
“Ada beberapa pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis yaitu setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya, para pembuat keputusan memiliki kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun kelompok serta tiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati,” tuturnya.
Dia melanjutkan ada empat pilar utama tentang MEA yakni ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas. Kedua adalah ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan dan ecommerce.
Ketiga ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah dan prakarsa integrasi ASEAN untuk negara-negara Kamboja, Myanmar, Laos dan Vietnam. Terakhir adalah ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi diluar kawasan dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.
”Ada 7 langkah menghadapi MEA 2015 yakni akses pada hukum dan keadilan, harmonisasi hukum di negara ASEAN, perpustakaan elektronik, program pelatihan untuk hakim, hukum perdagangan dan investasi, pusat kajian ASEAN dan alternatif penyelesaian sengketa,” terangnya. Agar lembaga arbitrase ini dapat berjalan efektif dan efisien, kata dia, diperlukan revisi substansi UU No 30/1999 tentang arbitrase, sosialisasi secara terus menerus tentang arbitrase ini agar diketahui masyarakat luas, dan para pihak memiliki etika bisnis yang baik sehingga patuh pada putusan arbitrase dengan sukarela.
Sementara itu, Sekjen BANI, Krisnawenda menambahkan, BANI merupakan lembaga independen dan bertindak secara otonom dalam penegakan hukum dan keadilan, menyelesaikan proses arbitrase sesuai dengan kewenangan yang diberikan para pihak melalui perjanjian atau klausula dan memberikan pendapat mengikat yang diajukan semua pihak.
“Ada beberapa kelebihan dari arbitrase antara lain kerahasiaan terjamin, fleksibel dalam prosedur, penyelesaian cepat, hak penunjukan arbiter berada di tangan para pihak bersengketa, pilihan hukum, forum dan prosedur penyelesaian berada ditangan para pihak dan dituangkan dalam perjanjian serta putusan arbitrase finas dan mengikat,” jelasnya.
Dia menyebutkan ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan dari suatu arbitrase yakni itikad baik para pihak yang bersengketa, kepatuhan para pihak untuk tunduk pada putusan arbitrase dan melaksanakannya dengan benar, integritas dan profesionalisme para arbiter dan sikap pengadilan terhadap pelaksanaan putusan arbitrase.
Terpisah, Waketum Kadin Bidang Perbankan dan Finansial, Rosan Perkasa Roeslani didampingi Ketua Kadin Sumsel H Ahmad Rizal menambahkan pemberlakuan MEA Desember 2015 berpotensi akan memunculkan sengketa dalam bisnis. “Tidak ada kata terlambat untuk persiapan menghadapi MEA.
Bayangkan saja, ekonomi ASEAN itu sekitar 50% merupakan ekonomi Indonesia. Memang lembaga arbitrase Indonesia agak tertinggal dengan arbitrase negara tetangga. Makanya disini kami minta peran aktif pemerintah untuk membuat regulasi yang tegas dan mewajibkan pelaku usaha jika ada selisih atau sengketa dapat di selesaikan melalui BANI,” terangnya.