Presiden Filipina Rodrigo Duterte dan Presiden Rusia Vladimir Putin.
TRIBUNNEWS.COM, MANILA - Pemerintah Filipina berencana membeli ribuan pucuk senapan buatan Amerika Serikat (AS) untuk mempersenjatai polisi nasional Filipina.
Namun 8 November lalu, presiden Filipina Rodrigo Duterte mengumumkan akan membatalkan pesanan 26 ribu pucuk senapan M16 buatan AS dan ‘mencari opsi yang lebih murah’.
Pilihan pun ditemukan, Duterte kabarnya siap untuk membeli senjata dari Rusia.
“Di tengah keretakan hubungan dengan AS, Filipina siap membeli senjata dari Rusia,” ungkap Duterte, seperti dikutip Sputnik, Senin (28/11/2016).
Seperti yang dilaporkan Rossiya 24, Duterte mengatakan, bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin senang mendengar tawaran persahabatan kami, senang dengan fakta bahwa inisiatif tersebut datang dari kami. Saat kami sudah memiliki dana, kami akan membeli senjata Rusia.
Meski hubungan dengan AS mengalami keretakan, Duterte menekankan bahwa Filipina sejujurnya tidak ikut serta dalam blok militer mana pun.
“Kami belum membahas hal itu baik dengan Rusia, atau pun dengan Tiongkok, kecuali isu perdagangan, keuangan, dan ekonomi. Namun, mungkin, nantinya kami akan melakukan bisnis dengan Uni Eropa dan Rusia di bidang perdagangan senjata karena tampaknya AS telah membatalkan pasokan senjatanya,” ujar Duterte, seperti dikutip RBTH Indonesia.
Duterte dan Putin sempat bertemu di sela-sela waktu saat terselenggaranya KTT APEC yang digelar di Peru, 19 November lalu.
Memudarnya ketergantungan Filipina terhadap AS serta pernyataan Duterte yang kerap menyinggung negara-negara Barat dan memuji Putin dianggap menjadi sinyal seakan Filipina hendak merapat ke Rusia.
Duterte pun mengumumkan mengeluarkan pernyataan sikap untuk berpisah dengan AS pada sektor ekonomi dan militer, pasca kecewanya Filipina lantaran AS mengkritik cara ia memerangi praktik narkoba di negaranya.
Pada kesempatan yang berbeda, Duterte menyebut Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai pahlawan favoritnya, serta lebih memilih Putin ketimbang pemimpin AS.
Hubungan Rusia dan Filipina sejatinya telah terjalin sejak abad ke-19. Filipina bahkan pernah menjadi salah satu negara yang penampung ribuan pengungsi Uni Soviet yang melarikan diri pada masa kejayaan komunisme.
Para pengungsi tersebut terdiri dari berbagai profesi seperti guru, dokter, insinyur, arsitek, bekas pejabat militer, pengacara, seniman, serta pendeta, yang memanfaatkan kemampuan profesional mereka untuk memperbaiki kondisi mereka.
Periode yang kerap disebut Tiempo Russo, atau Tempo Rusia tersebut sangat menarik dan dikenang oleh para penduduk pulau kecil Tubabao, Filipina.