Perdana Menteri (PM) Thailand Yingluck Shinawatr |
THAILAND – Perdana Menteri (PM) Thailand Yingluck Shinawatra tak bisa menahan air mata saat menyampaikan pidato emosionalnya, menjawab tuntutan demonstran oposisi yang bersikeras memintanya mundur. Perempuan cantik 46 tahun tersebut meminta rakyat Negeri Gajah Putih itu bertindak adil kepadanya.
Demonstran mendesak Yingluck mundur dan digantikan ”perdana menteri rakyat”. Bentuknya seperti majelis atau presidium yang tidak dipilih langsung oleh rakyat. Saat ini Thailand menghadapi konflik politik terburuk sejak 2010.
Berbicara kepada wartawan kemarin (10/12), Yingluck menyerukan kepada demonstran menghentikan aksi mereka dan menggunakan instrumen pemilu untuk memilih PM baru.
”Saya harus menyelesaikan tugas saya sebagai penjabat sementara PM sesuai dengan konstitusi,” ujarnya. ”Saya sudah mengalah sebisa saya, beri saya sedikit keadilan,” mohonnya seraya menitikkan air mata.
Senin (9/12) sekitar 150 ribu demonstran mengepung istana kepresidenan dalam sebuah aksi yang mereka sebut sebagai desakan terakhir untuk melengserkan pemerintah. Pada hari yang sama Yingluck mengumumkan bahwa dirinya siap membubarkan parlemen dan mempercepat pemilu, 2 Februari.
Meski demikian, pemimpin demonstran Suthep Thaugsuban, mantan politikus oposisi, menegaskan bakal melanjutkan aksinya. ”Kami akan memilih PM rakyat dan membentuk sebuah pemerintahan rakyat serta majelis rakyat untuk menggantikan parlemen,” ujarnya Senin malam.
Sepanjang kemarin, jalanan di ibu kota relatif tenang dan jumlah demonstran telah berkurang secara signifikan. Namun, sejumlah kecil demonstran inti tetap bertahan di luar kantor presiden.
Partai Pheu Thai menguasai mayoritas kursi di parlemen dan masih mendapat dukungan dari warga pedesaan di Thailand. Banyak analis yang meyakini, pemilu yang akan datang masih menjadi milik partai pemerintah itu.
Oposisi mengklaim bahwa gerakan mereka melengserkan pemerintah akan menciptakan tatanan baru yang paralel. Lengkap dengan ”relawan penjaga perdamaian” pengganti polisi serta ”dewan rakyat” yang menjalankan urusan dalam dan luar negeri.
Sejumlah akademisi justru mengkritik keras pola yang tidak demokratis dan inkonstitusional itu.
”Ini adalah situasi yang sangat berbahaya. Kita tidak bisa memiliki dua pemerintahan di Bangkok yang memerintah Thailand,” ingat Thitinan Pongsudhirak, direktur Chulalongkorn’s Institut of Security and International Studies.
Menurut Thitinan, momentum ini berpihak kepada Suthep. Sebab, gerakannya sudah memicu terjadinya pembubaran parlemen dan mereduksi kekuasaan Yingluck.
”Posisi pemerintah merugi karena mereka tidak didukung elite dan rakyat Bangkok,” lanjut Thitinan.
Militer sejauh ini netral. Tapi, tambah dia, ketika tekanan datang semakin kuat untuk mencari solusi konflik, mereka akan berada di pihak demonstran.
Thitinan menambahkan, Suthep adalah tokoh utama pemimpin massa yang begitu besar di belakangnya. Dia mengatakan, oposisi ingin merebut pemerintahan karena mereka akan mengawal proses transisinya. ”Kita berbicara tentang monarki, suksesi, konstitusi, dan masa depan Thailand secara keseluruhan,” tandasnya. (AP/AFP/BBC/cak/c9/dos)