REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Presiden Korea Selatan Park Geun-hye memperingatkan jika reaktor nuklir di Kota Yongbyon, Korea Utara mengalami kebocoran, dampaknya bisa lebih parah dari insiden Chernobyl pada 1986.
Insiden nuklir Chernobyl, yang saat ini merupakan wilayah Ukraina, menjadi insiden pertama dari dua indisiden kebocoran nuklir level tertinggi, level tujuh dalam Skala Peristiwa Nuklir Internasional disusul insiden Fukushima pada 2011 lalu.
''Aktifitas nuklir Korea Utara menunjukkan ketakutan tersaingi oleh negara tetangganya dalam persenjataan nuklir,'' kata Park dalam wawancara sebuah televisi Belanda NOS, Ahad (23/3). Park berada di Belanda guna mengikuti Nuclear Security Summit yang berlangsung pekan ini.
''Karena banyak sekali fasilitas nuklir yang dibangun di Yongbyon, resiko dampak insiden yang lebih buruk dari Chernobyl juga bisa terjadi, bahkan hanya jika sebuah bangunan pusat nuklir terbakar,'' tutur Park.
Ujicoba nuklir tahap ke tiga Korea Utara awal 2013 lalu memicu krisis keamanan di Semenanjung Korea. Negara Stalinis itu berjanji untuk kembali mengaktifkan pusat nuklir Yongbyon. Re-aktifasi ini akan menyediakan pasokan plutonium yang cukup untuk memproduksi senjata nuklir.
Pada 2007 lalu, Korea Utara menghentikan sementara operasi sejumlah reaktor nuklir di Yongbyon, sekitar 90 kilometer di utara Pyongyang, atas kesepakatan pembicaraab Enam Partai. Namun, Korea Utara belakangan diduga mengoperasikan kembali kompleks itu.
Jika dibandingkan Chernobyl, dampak radiasi yang mungkin ditimbulkan Yongbyon tak hanya akan menimpa Korea Utara, tapi juga negara di sekelilingnya seperti Korea Selatan, Jepang dan Cina.
Ada perbedaan pendapat mengenai jumlah korban tewas akibat insiden Chernobyl. Ada yang berpendapat jumlah korban mencapai lebih dari sejuta orang akibat efek radioaktif yang dirilis selama dan pasca insiden.
''Perhatian dunia dapat membantu denuklirisasi di Semenajung Korea. Ini bisa jadi proyek percobaan internasional,'' kata Presiden perempuan pertama Korea Selatan itu.