Bekas rumah dinas Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani yang kini difungsikan sebagai Museum Sasmita Loka Pahrev A. Yani (Foto: Randy Wirayudha/Okezone) |
JAKARTA – Kesan sumpek hingga angker biasa jadi deskripsi berbagai museum yang membuat masyarakat tak punya animo besar untuk belajar sejarah di museum. Tapi tak demikian jika berkunjung ke Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Ahmad Yani.
Sapaan ramah dan hangat bakal ditemui di pos keamanan, Okezone disambut salah seorang penjaganya, Serma Wawan dari Dinas Sejarah TNI AD (Disjarhad) ketika memasuki rumah asri nan terjaga bersih dan rapi di bilangan Jalan Lembang Nomor D58, Jakarta Pusat, itu.
Setelah menulis daftar tamu, pengunjung biasanya diajak masuk lewat pintu samping dan diharuskan melepas alas kaki. Di ruang belakang ini jadi awalan pengenalan tentang Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani, mulai dokumentasi film G30S (Gerakan 30 September 1965), hingga foto-foto Jenderal Yani semasa perang revolusi hingga menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad).
Pun begitu dengan catatan riwayat ayah delapan anak tersebut yang lahir di Jenar, Purworejo (Jawa Tengah), 19 Juni 1922. Diperlihatkan pula di rumah itu tempat di mana Letjen Ahmad Yani tersungkur setelah ditembak Pasukan Tjakrabirawa pada subuh, 1 Oktober 1965.
Foto-foto, piagam, lukisan, hingga sejumlah souvenir dari para tamu asing Jenderal Yani dipamerkan di ruang makan, ruang tengah hingga ruang kerja ajudannya. Tapi ada satu pantangan, yakni tak boleh mengambil foto di ruang tidur Jenderal Yani.
“Iya, kamar bapak enggak boleh difoto. Enggak tahu sebenarnya kenapa, tapi katanya ada yang akhirnya hasil fotonya enggak jadi. Ada juga yang pernah sakit enggak sembuh-sembuh. Dibawa ke sini lagi, suruh minta maaf, baru sembuh,” beber putri keempat Jenderal Yani, Elina Lilik Elastria Yani, kepada Okezone.
Rumah ini sedianya merupakan rumah dinas Jenderal Yani yang mulai ditinggalkan keluarganya, tak lama pasca-peristiwa 1 Oktober 1965. Setahun kemudian, dijadikan museum dan diresmikan langsung oleh Presiden Soeharto.
“Ada kejadian unik waktu (peresmian itu). Patung bapak di depan rumah itu sebelumnya kan tertutup kain putih. Saat itu angin berembus kencang sekali, diselingi gemuruh geluduk. Tapi ketika kainnya disingkap dan dibuka, suasananya biasa lagi,” timpal putri ketiga Jenderal Yani, Amelia Yani.
Rumah ini memang tinggal kenangan, tapi ketujuh anak Jenderal Yani yang masih hidup, berusaha untuk tetap terus datang secara berkala, meski tak tentu waktunya.
“Warisan bapak itu semangat, prinsip. Itu yang saya telurkan pada anak-anak saya ketika mereka bimbang. Sama anak saya katakan, ‘Kamu harus seperti mbah kakung (Jenderal Yani). Prinsip dia pertahankan mati-matian terhadap apa yang dia yakini,” tandasnya.
(raw)