Anomali Seladi

Author : Administrator | Tuesday, May 24, 2016 09:03 WIB

SURYA MALANG/ SRI WAHYUNIK

Inilah pekerjaan sehari-hari Bripka Seladi. Di luar jam dinas, ia menjadi pengumpul sampah.

 

Seladi adalah anomali. Ia dianggap menyimpang karena perilakunya dianggap kebalikan dari citra polisi dan politisi negeri ini. Dan sebagai sesuatu yang unik, kabar tentang dirinya pun menjadi pemberitaan berbagai media.

Apa yang membuatnya istimewa? Bripka Seladi, anggota polisi di Polres Malang Kota, menyambi pekerjaan menjadi pengumpul sampah. Bagian ini masih biasa.

Yang luar biasa adalah kenyataan bahwa ia melakukan itu untuk memperoleh tambahan uang dengan cara halal. Bukan suap, bukan mencuri, bukan korupsi.

Padahal barangkali banyak kesempatan baginya mendapat uang dengan cara mudah. Ia tidak tergiur meskipun berdinas di lahan yang selama ini dikenal sebagai lahan "basah" di institusi kepolisian.

Seladi mengaku tidak mau menerima pemberian orang dengan tujuan tertentu dalam pengurusan SIM. Kalaupun ada yang memberi di rumah, kata Seladi, ia meminta sang anak mengembalikan pemberian itu.

Mungkin almarhum Gus Dur akan heran mendengar cerita Seladi andai beliau masih hidup. Dalam salah satu guyonannya, mantan Presiden RI itu pernah berkata, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, yakni polisi tidur, patung polisi, dan Jendral Hoegeng yang pernah jadi Kapolri.

Anomali

Pendirian Seladi barangkali tidak aneh bila kita hidup di dunia yang ideal, di mana tak ada korupsi, suap atau kejahatan lain. Ia bakal nampak seperti hujan di bulan Januari. Normal,  dan memang semestinya begitu.

Tapi saat fenomena Seladi menjadi pembicaraan dan kisahnya dibagikan ribuan orang di media sosial, kita tersadar bahwa ini kejadian langka. Bila ini biasa, tak bakal ia muncul di koran, TV dan internet.

Mengapa langka? Karena ternyata pada umumnya yang terjadi sebaliknya. Aparat menerima uang damai dianggap biasa. Hakim dan penegak hukum menerima pelicin dinilai wajar saja. Anggota dewan menerima suap, itu sah saja.

Begitu biasanya kita menerima berita soal “kejahatan” sampai-sampai hati kita tak terusik, bahkan tak peduli.

Atau mungkin sifat jahat, culas, curang, sudah ada sejak awal peradaban manusia, sehingga cerita semacam itu tak lagi mengherankan. Yang mengherankan justru kisah mereka-mereka yang menempuh jalan lurus.

Salah satu cerita soal mereka yang memilih jalan lurus itu terpahat dalam relief di Candi Borobudur, tepatnya di bagian bawah dinding utama galeri pertama. Kisah diambil dari candi Buddha terbesar ini mumpung masih dalam suasana perayaan Waisak.SURYA MALANG/ SRI WAHYUNIK

Dalam rangkaian cerita Awadana, ada kisah soal ajakan untuk mencuri.

 

Diceritakan, Bodhisattwa terlahir kembali dalam keluarga brahmana. Di masa mudanya, ia belajar kepada guru yang bijak.

Suatu saat, sang guru ingin menguji murid-muridnya. Sang guru berkata, “ Ah, susahnya hidup melarat. Andai bisa berkecukupan.”

Mendengar keluhan itu, murid-muridnya segera berkeliling ke rumah-rumah warga untuk memintakan makanan bagi guru mereka.

Menerima pemberian itu, guru berkata, “Aku sudah cukup mendapat makanan. Tapi hanya harta yang bisa menyingkirkan kemiskinan.”

Murid-murid pun bertanya, “Apa yang bisa kita lakukan?”

Guru menjawab, “Ada cara lain mendapatkan harta seperti tertulis di kitab suci. Dalam keadaan melarat, brahmana boleh mencuri, karena kemiskinan adalah duka terberat. Kalian boleh mencuri asal jangan sampai terlihat siapa pun.”

Demi cinta dan bakti pada gurunya, murid-murid pun bergegas pergi untuk mencuri. Hanya Bodhisattwa yang terdiam. Ia menolak melakukan perbuatan itu.

Saat gurunya bertanya mengapa ia tidak ikut mencuri, Bodhisattwa menjawab, “Aku menolak bukan karena takut atau tidak patuh. Tapi tidak mungkin mencuri tanpa terlihat, sebab ada diri sendiri yang melihatnya.”

Sang guru tersenyum mendengar jawaban itu, dan berkata pada murid lainnya. “Karena nafsu dan alasan mencintai, orang dungu meninggalkan kewajiban. Namun orang bijak tak membiarkan dirinya tersesat meskipun dalam derita besar, karena pengendalian diri dan kebijaksanaan adalah harta mereka.”

Kala diminta mencuri demi gurunya sebagai ujian, brahmana muda menolak, sebab selalu ada diri yang mengetahui perbuatannya. Ia memiliki kesadaran diri, sesuatu yang juga dimiliki Seladi, dan sebaiknya juga kita miliki.

Selamat Hari Raya Waisak

من المقطوع: http://nasional.kompas.com/
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: