Ilustrasi: Sawah di wilayah pulau Buru, Maluku. |
JAKARTA, KOMPAS.com – Salah satu persoalan di bidang pangan Indonesia adalah mafia dan kartel pangan. Apa strategi pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa maupun Joko Widodo-Jusuf Kalla?
Anggota tim ekonomi dari pasangan Prabowo-Hatta, Fary Jemi Francis, mengatakan mafia pangan akan mereka berentas dengan menyerahkan penanganan subsidi pertanian kepada kalangan profesional.
“Mafia pangan, dan subsidi harus menjadi masukan, harus jadi perhatian khusus," kata Fary, di Jakarta, Sabtu (21/6/2014).
Adapun anggota tim ekonomi dari pasangan Jokowi-Kalla, Erik Satrya Wardhana, mengatakan cara memberantas mafia pangan ini adalah dengan redistribusi aset produktif. Dia mengatakan ada dua tahap yang harus dilakukan, yakni on farm dan off farm.
“Produksi tahap 1 yang on farm, negara harus memberikan jaminan beberapa hal, misalnya benih, pupuk, dan kebijakan subsidi,” kata Erik. “Saya agak heran kenapa pupuk organik dihapus. Padahal yang membuat lahan tidak subur pupuk kimia,” imbuh dia.
Erik menjelaskan program subsidi pupuk kimia pernah menjadi program pemerintah pada era 70-80an. Pada jangka pendek produktivitas pertanian memang meningkat, namun dalam jangka panjang lahan pertanian menjadi hancur.
“Kehancuran ini harus jadi tanggungjawab pemerintah untuk menyehatkan lahan rakyat. Ini tidak boleh dibebankan kepada petani,” ujar Erik. Selain soal pupuk, dalam tahap on farm ini juga perlu diperhatikan masalah infrastuktur pertanian.
Menurut Erik, tidak adanya pembangunan infrastuktur pertanian dan infrastuktur perdesaan selama ini membuat tingkat kerusakan di perdesaan mencapai 70 persen. “Jadi itu juga harus menjadi tanggung jawab negara,” kata dia.
Adapun pada tahap off farm, Erik mengambil contoh petani sawit rakyat. Saat ini sebanyak 40 persen petani sawit adalah petani rakyat, dan 60 persen adalah petani besar yang memiliki usaha hilir.
“Kalau bea keluar CPO naik, ini akan menekan harga TBS (tandan buah segar). Petani besar bisa mengkompensasi di hilir. Tapi, petani kecil begitu rugi dia tidak bisa mengkompensasi apapun,” papar Erik.
Sebelumnya, Ketua Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Arif Satria mengatakan, ada tiga penyebab kartel tumbuh subur di Indonesia. Pertama, jalur distribusi pangan sangat mahal. Kedua, lemahnya kontrol pemerintah terhadap stok pangan yang mereka kuasai. Dan ketiga, ketidakmampuan pemerintah menumbuhkan sektor produksi pangan strategis di Indonesia.