Tim bantuan kesehatan Indonesia yang diketuai Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang dr Rita Kusriastuti berhasil menangani wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) pasca bencana banjir di Pakistan. Atas keberhasilan tersebut, tim yang baru tiba di Tanah Air, Jumat (14/10) ini mendapat penghargaan dari Chief Minister of Punjab, Pakistan.
Dalam siaran persnya kepada SP, di Jakarta, Jumat (14/10), Rita Kusriastuti mengatakan, tim tersebut terdiri dari tim medis pediatric atau ahli penyakit anak yang melakukan kunjungan ke rumah sakit anak dan berdiskusi dengan para dokter serta perawat di sana. Kemudian tim medis penyakit dalam juga melakukan diskusi tentang kasus DBD server dan pelatihan tata laksana kasus kepada tenaga medis. Tim epidemiologis dan entomologis melakukan diskusi dengan dinas kesehatan setempat mengenai cara pemberatasan vektor. Selanjutnya tim disaster management membagi ilmu bagaimana rencana membuat tim outbreak respons team dalam menghadapi kasus DBD.
Menurutnya, pemerintah Pakistan meminta bantuan karena menganggap Indonesia telah berhasil mengatasi masalah DBD di Tanah Air dalam empat tahun terakhir. Sejak tahun 2008 kasus DBD sudah menurun drastis. Tim yang hadir di sana membagi pengalaman mengenai pananganan DBD di Indonesia.
Ia menyampaikan, jumlah kesakitan dan kematian akibat DBD di Pakistan sangat tinggi pascabencana banjir beberapa waktu lalu. Kasusnya meningkat tajam pada akhir bulan Agustus setiap tahun. Saat tim-nya berada di negara itu sejak 30 September lalu, kasus kematian bahkan mencapai 175, dari total kasus yang masuk ke rumah sakit sebanyak 20.000. Setiap harinya hampir 2.000 hingga 3.000 pasien yang masuk ke rumah sakit. Bedanya dengan Indonesia di mana DBD lebih banyak diderita anak-anak, di Pakistan justru menyerang orang dewasa. "Parahnya, negara itu belum memiliki sistem atau pedoman penanganan DBD yang komprehensif. Akibatnya, ketika banyak kasus mereka panik," kata Rita.
Selain itu, meskipun di Pakistan mempunyai pusat diagnostik atau laboratorium, tetapi karena tidak ada sistem rujukan dari pusat layanan kesehatan sekunder ke primer atau rumah sakit maka semua pasien menumpuk di rumah sakit.
Sementara tenaga kesehatan kurang di mana, yang seharusnya satu dokter dan perawat menangani masing-masing satu pasien, malah ada yang 2-3. Akibatnya pasien yang kondisinya berat dan seharusnya mendapatkan pertolongan darurat malah lolos dari pantauan petugas, sehingga banyak yang meninggal. "Kasusnya tinggi sekali karena diagnosa awalnya juga belum benar. Yang mereka periksa adalah trombosit, sehingga semua penyakit yang masuk didiagnosa DBD, jadi kematian tinggi itu karena gabungan," katanya menambahkan. Ahli penyakit dalam dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr Hidayat Djoko Santoso mengatakan, dari sisi logistk juga Pakistan kurang paham, di mana mereka menggunakan pedoman WHO tahun 1997 yang sebenarnya tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Karena itu, Indonesia memberikan panduan penangana DBD yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris kepada tenaga kesehatan dan pemerintah setempat. Kelemahan lainnya adalah, meskipun di Pakistan banyak ahli dan guru besar yang paham penanganan DBD, namun sulit mentransfer ilmu kepada pihak lain. Tim Indonesia membantu mentransfer ilmu tersebut dan mengedukasi dokter serta pasien di rumah sakit primer maupun sekunder.
"Untuk tata laksana pemberian cairan koloid pun mereka menggunakan cairan berbeda dengan Indonesia. Kita memberikan guide line yang kita pergunakan dan saran-saran untuk memperbaiki penanganannya," ucapnya