Permasalahan ini bukan hanya di Indonesia, melainkan sudah menjadi masalah global yang hingga kini.
"Masih memerlukan langkah pemberantasan yang tepat untuk menuntaskannya," kata dr. J. Hudyono, MS., SpOk., MFPM – Staf Clinical Research Supporting Unit (CRSU) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia & Staf Penilai Obat Jadi Badan POM saat Pfizer Press Circle (PPC) di Jakarta, Senin (31/10/2016).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan di negara maju sekitar 1 persen dari obat-obatan yang tersedia cenderung palsu dan angka ini meningkat sampai 10 persen secara global.
"Namun di beberapa negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin obat palsu bisa menguasai 30 persen pangsa pasar," katanya.
WHO mengelompokkan obat palsu ke dalam lima kategori produk tanpa zat aktif (API), Produk dengan kandungan zat aktif yang kurang, produk dengan zat aktif berbeda.
Kemudian produk yang diproduksi dengan menjiplak produk milik pihak lain dan Produk dengan kadar zat aktif yang sama tetapi menggunakan label dengan nama produsen atau negara asal berbeda.
"Data pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) hingga periode Januari - Juni 2016, Badan POM telah mengidentifikasi 17 merek obat palsu temuan obat palsu," katanya.
Obat palsu didominasi oleh obat disfungsi ereksi, antibiotika, antipiretik-analgetik, antihipertensi, dan Antihistamin.
Obat palsu bisa menyebabkan risiko buruk terhadap kesehatan publik.
Dra. Eka Purnamasari, Apt. MKM. - Kepala Sub Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Distribusi Produk Terapetik, Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik Badan POM menjelaskan obat palsu dan obat ilegal disebarluaskan kepada konsumen dan pasien tanpa izin pemerintah dan tanpa uji laboratorium yang layak.
"Obat ilegal dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu obat tanpa izin edar (TIE) atau obat palsu," katanya.
Obat TIE merupakan obat yang tidak memiliki izin edar dari Badan POM.
Kode izin edar Badan POM untuk obat diawali dengan huruf D untuk obat dengan merek dagang atau G untuk obat generik, lalu diikuti dengan huruf kedua, yaitu B untuk obat bebas, T untuk obat bebas terbatas, K untuk obat keras.
"Seringkali obat TIE disertai dengan penandaan yang berbeda dengan obat yang telah memiliki izin edar," katanya.
Kompleksitas pembenahan dan pemberantasan peredaran obat ilegal dan obat palsu ini tidak dapat hanya menjadi tanggung jawab satu pihak saja tapi juga sektor pemerintah, pelaku usaha, termasuk masyarakat.
Sebagai konsumen pengguna produk obat di Indonesia, masyarakat merupakan salah satu kunci utama keberhasilan upaya penanggulangan peredaran obat ilegal dan obat palsu.
“Peran aktif masyarakat sangat diharapkan dalam melakukan pengawasan obat ilegal termasuk palsu, minimal dimulai dari pengawasan peredaran obat yang ada di lingkungan sekitarnya," katanya.
Widyaretna Buenastuti, Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) menambahkan, masyarakat yang kritis diharapkan dapat mempercepat upaya memutuskan mata rantai peredaran obat ilegal dan obat palsu di Indonesia.
Dengan semakin menurunnya jumlah konsumen yang menggunakannya, maka pelaku juga akan semakin mengurangi aktivitas usahanya dalam mengedarkan produk obat ilegal atau obat palsu karena tidak memberikan keuntungan.”
Public Affairs & Communication Director PT Pfizer Indonesia ini menambakan, Pfizer mempunyai visi untuk memimpin melalui inovasi untuk Indonesia yang lebih sehat.
Editor: Eko Sutriyanto