Bulan Sabit di Kaki Langit dan Ramadhan yang (Kembali) Berbeda

Author : Administrator | Monday, July 08, 2013 09:45 WIB

Warga membaca Al Quran di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Jumat (20/8/2010). Ramadhan dipergunakan sebaik-baiknya oleh umat Islam untuk mencari pahala, antara lain dengan membaca Al Quran, beriktikaf, dan shalat tarawih. | KOMPAS/AGUS SUSANTO

 

Muh. Ma'rufin Sudibyo*

KOMPAS.com - Konjungsi Bulan dan Matahari akan terjadi pada Senin 8 Juli 2013 pukul 14:14 WIB, bertepatan dengan 29 Sya’ban 1434 H berdasarkan segenap mazhab kalender Hijriah yang berkembang di Indonesia. Dengan demikian, terbenamnya Matahari di hari itu menjadi saat yang menentukan untuk mengevaluasi apakah 1 Ramadhan 1434 H sudah tiba di Indonesia atau belum.

Evaluasi dilaksanakan berdasarkan elemen-elemen posisi Bulan, khususnya beda tinggi Bulan-Matahari, keterlambatan terbenamnya Bulan terhadap Matahari (Lag), selisih waktu antara konjungsi hingga terbenamnya Matahari saat itu (umur Bulan) dan jarak sudut Bulan-Matahari (elongasi).

Saat Matahari terbenam pada 8 Juli 2013 itu, beda tinggi Bulan di Indonesia bervariasi antara -0,7 derajat di pesisir utara Papua hingga +0,2 derajat untuk pesisir selatan Jawa bagian barat. Elemen Lag Bulan juga menunjukkan variasi serupa dengan pola persebaran menyerupai distribusi elemen tinggi Bulan, dimana yang terkecil yakni -2,7 menit pun terjadi di pesisir utara Papua hingga yang terbesar +3,2 menit terjadi pada pesisir selatan Jawa bagian barat. Hal sebaliknya terjadi pada umur Bulan dan elongasi, yang meskipun juga sama-sama bervariasi namun pola persebarannya berkebalikan dibanding distribusi tinggi Bulan dan Lag Bulan.

Umur Bulan merentang sejak yang terendah +1,3 jam untuk pesisir selatan Papua hingga yang tertinggi +4,7 jam untuk Aceh. Dan elongasi Bulan-Matahari bervariasi dari yang terkecil +4,4 derajat di pesisir selatan Papua hingga yang terbesar adalah +4,9 derajat di Aceh.

Bagaimana kaitan elemen-elemen Bulan tersebut dengan penentuan 1 Ramadhan 1434 H di Indonesia?

Di sinilah perbedaan itu bakal terjadi. Terdapat dua kelompok arus-utama dalam penentuan awal bulan kalender Hijriah di Indonesia.

Kelompok pertama yang mengacu pada hisab berbasis “kriteria” wujudul hilaal. Kelompok ini sejak jauh-jauh hari telah menetapkan 1 Ramadhan 1434 H di Indonesia bertepatan dengan Selasa 9 Juli 2013, misalnya seperti dinyatakan dalam Maklumat PP Muhammadiyah no. 04/MLM/I.0/E/2013. Mereka berpedoman awal bulan kalender Hijriah telah terjadi tatkala piringan teratas cakram Bulan masih menyembul di kaki langit barat kala Matahari terbenam sempurna. Dalam bahasa astronomi, “kriteria” ini dinyatakan dengan Lag -2 menit dan belakangan dipadukan dengan prinsip naklul-wujud (transfer wujudul hilaal). Maka titik-titik di sebagian Indonesia yang sejatinya tak memenuhi syarat Lag Bulan -2 menit, seperti dalam awal Ramadhan kali ini khususnya bagi pulau Sulawesi, Irian dan kepulauan Maluku, diperkenankan “meminjam” titik-titik lainnya yang telah memenuhi syarat.

Sebaliknya, bagi kelompok kedua yang menggunakan hisab dengan dasar “kriteria” imkan rukyat dan/atau memadukannya dengan rukyatul hilaal. Pada Senin senja itu sabit Bulan atau hilaal bakal belum terlihat mengingat tak ada satupun dari dua syarat “kriteria” imkan rukyat yang terpenuhi, yakni beda tinggi Bulan lebih kurang 3,25 derajat dan umur Bulan lebih kurang 8 jam, atau beda tinggi Bulan lebih kurang 3,25 derajat dan elongasi lebih kurang 3 derajat. “Kriteria” ini masih dipadukan lagi dengan prinsip wilayatul hukmi (kesatuan wilayah hukum), sehingga jikalau ada titik di Indonesia yang memenuhi syarat tersebut maka seluruh kesatuan wilayah Indonesia memasuki awal bulan kalender Hijriyyah yang baru secara bersama-sama.

Meski sebagian masih tetap menanti hasil rukyatul hilaal dan/atau Keputusan Menteri Agama berdasarkan sidang isbat yang bakal digelar pada Senin 8 Juli 2013 tersebut. Namun, dengan situasi elemen-elemen posisi Bulan yang telah tersaji di atas, maka kelompok ini mengindikasikan 1 Ramadhan 1434 H bakal bertepatan dengan Rabu 10 Juli 2013.

Maka, jelas ada perbedaan dalam hal awal Ramadhan 1434 H. Namun, bagaimana hal semacam itu bisa terjadi? Adakah persoalan elementer dalam kalender Hijriah yang membuka celah perbedaan tersebut, ataukah problematika ini lebih berpangkal pada faktor-faktor non-saintifik?

Dasar

Kalender Hijriah merupakan salah satu sistem penanggalan dalam khasanah peradaban manusia yang memiliki aturan dan akarnya sendiri. Kalender ini merupakan kalender Bulan dan terhitung sejak 10 Zulhijjah 10 H sepenuhnya mengacu pada peredaran Bulan (lunar) tanpa dicampur-adukan lagi dengan peredaran Matahari (luni-solar) sebagaimana dideklarasikan Rasulullah SAW dalam haji wada.

Terdapat 12 bulan kalender (lunasi) di dalamnya dengan jumlah hari dalam setiap bulan kalender bervariasi antara 29 dan 30 hari. Awal kalender adalah tahun ke-0, yakni tahun di mana peristiwa hijrah (migrasi religius) dari kota Makkah menuju Yastrib (Madinah) berlangsung. Meski sepenuhnya berdasarkan peredaran Bulan, namun terdapat korelasi sederhana yang mengaitkannya dengan peredaran semu Matahari dimana 309 tahun Hijriah setara dengan 300 tahun Matahari.

Dasar-dasar ini telah disepakati dan cukup dipahami Umat Islam khususnya para ahli falak, yakni cendekiawan Muslim yang secara khusus berkecimpung dalam ilmu astronomi khususnya implementasinya bagi aspek-aspek peribadahan termasuk salah satunya penyelenggaraan kalender Hijriah.

Dasar-dasar tersebut bersumberkan dari dua sumber hukum terpenting Umat Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadits. Sehingga kalender Hijriyyah sebenarnya memiliki pijakan yang kuat serta relatif tertata dan terkodifikasikan dengan baik.

Namun, kodifikasi tersebut belum sepenuhnya sempurna. Ada beberapa persoalan yang masih tersisa, salah satunya dalam pendefinisian hilal. Belum ada kata sepakat di kalangan ahli falak dalam menyatakan apa itu hilaal dan bagaimana turunannya (derivasinya) ke dalam elemen-elemen posisi Bulan baik dalam nilai minimum maupun maksimum.

Meski secara umum hilal dinyatakan sebagai Bulan sabit (tertipis) di kaki langit, namun masing-masing kelompok masih menggunakan definisinya sendiri-sendiri yang berbeda. Inilah problema elementer paling menonjol dalam kalender Hijriyyah yang menghantui Umat Islam khususnya sejak sekitar lima abad silam dan masih terus berlanjut hingga kini. Problema itu diperparah dengan kegamangan menetapkan dimana posisi hisab dan rukyat sesungguhnya.

Dan, dalam era kontemporer, dua problema tersebut masih ditingkahi dengan dua problem tambahan. Yakni bagaimana mengimplementasikan dasar-dasar kalender Hijriyyah dalam konteks global (antar-negara) dan siapa yang memiliki kewenangan otoritatif dalam menerapkan dan menjaga keberlakuan kalender tersebut. Akumulasi dari keempat problema itulah yang menyebabkan awal Ramadhan kerap dimulai secara berbeda, baik dalam lingkup Indonesia maupun antara Indonesia dengan negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim lainnya di dunia.

* Muh. Ma'rufin Sudibyo, Koordinator Riset Jejaring Rukyatul Hilal Indonesia & Ketua Tim Ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah Kebumen

 
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary
 
من المقطوع: http://nasional.kompas.com/read/2013/07/08/0838514/Bulan.Sabit.di.Kaki.Langit.dan.Ramadhan.yang.Kembali.Berbeda
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: