Ilustrasi Kompleks Parlemen: Deretan mobil pejabat dan tamu undangan terparkir di Kompleks Parlemen, di Jakarta, menandai mulai ramainya kegiatan di masa sidang II tahun 2014-2015, Rabu (21/1/2015). Dikeluarkannya Peraturan Presiden No 39/2015 yang mengatur kenaikan anggaran untuk fasilitas uang muka pembelian kendaraan pejabat telah memicu kritik masyarakat. |
JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana dana aspirasi bagi para wakil rakyat yang diusulkan DPR menimbulkan kontroversi. Permintaan anggota DPR agar mendapatkan jatah dana aspirasi sebesar Rp 20 miliar per tahun per anggota dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disebut dinilai rawan diselewengkan.
"Alokasi dana aspirasi Rp 20 miliar per anggota tersebut berpotensi rente dan korup," kata pegiat antikorupsi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Dahnil Anzar Simanjuntak, kepada Kompas.com, Senin (15/6/2015).
Center for Budget Analysis (CBA) melihat celah korupsi itu dari UU MD3 yang dijadikan dasar pengusulan tambahan dana aspirasi. Pasalnya, UU tersebut tak hanya mengikat DPR, tetapi juga DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Direktur Eksekutif CBA Uchok Sky Kadafi menduga, usulan dana tersebut muncul setelah anggota DPR reses ke daerah pemilihan mereka masing-masing. Setelah melihat kondisi dapil, para anggota DPR itu merasa memiliki legitimasi untuk memaksa pemerintah mengalokasikan dana tersebut.
"Padahal, di dapil mereka itu (DPR) tidak hanya ditempati mereka, tapi juga anggota (DPRD) tingkat I dan II. Artinya, dapil yang ditempati legislator ini akan menerima double anggaran yang arahnya bermodus korupsi dalam bentuk mark up dan proyek fiktif," ujarnya.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, korupsi yang melibatkan DPR selama ini disebabkan akibat perencanaan anggaran yang buruk. Hal itu juga terlihat pada pengusulan tambahan dana aspirasi ini.
"Dana aspirasi ini sudah sejak awal memperlihatkan kekacauan perencanaan. Belum juga mulai resmi dibicarakan di DPR, sebagian anggota sudah menyebut kisaran angka," ujarnya.
Di saat yang sama, kata dia, tak ada penjelasan yang meyakinkan terkait mekanisme pencairan dana tersebut. Jika hal itu dibiarkan, maka pengelolaan dana aspirasi berpotensi rentan penyimpangan.
Badan Anggaran DPR RI meminta dana aspirasi daerah pemilihan dinaikkan hingga Rp 15 miliar sampai Rp 20 miliar per anggota. Jika dikalikan 560 anggota DPR yang ada, estimasi total dana aspirasi mencapai Rp 11,2 triliun.
Ketua Badan Anggaran DPR Ahmadi Noor Supit mengatakan, dana aspirasi nantinya disetorkan ke pemerintah daerah sehingga tidak ada kesempatan bagi anggota DPR untuk melakukan penyelewengan dana.
Dana aspirasi tabrak fungsi DPR
Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR memiliki tiga fungsi yaitu budgeting, legislasi dan pengawasan. Dahnil mengatakan, alokasi dana aspirasi dengan alasan memenuhi keinginan masyarakat menabrak ketiga fungsi DPR tersebut. Menurut dia, jika memenuhi keinginan masyarakat, sebaiknya usulkan di dalam pembahasan APBN bukan dengan mematok dana.
"Terang dana aspirasi adalah akal-akal-an yang mengabaikan nalar tata negara yg baik dan benar dan berpotensi rente dan korupsi," ujarnya.
Sementara, Uchok mengatakan, meski Ahmadi menyebut dana aspirasi tidak akan masuk ke kantong anggota DPR, namun potensi penyelewengan tetap ada. Ia bahkan menyebut bahwa usulan tersebut hanya menjadi akal-akalan anggota Dewan untuk 'merampok' uang pajak rakyat.
"Kalau dana aspirasi ada di dalam pengelolaan kesekjenan DPR, ini namanya ngakalin uang pajak," kata Uchok.
Lucius mengatakan, munculnya rencana kenaikan dana aspirasi disebabkan adanya dorongan investasi politik yang kuat di daerah. Anggota DPR berkepentingan untuk kampanye sejak awal. Namun, mereka tidak ingin uang kampanye tersebut bersumber dari kantong mereka. Alih-alih memberikan bantuan kepada masyarakat, mereka justru mengeruk keuangan negara lewat dana aspirasi.
"Anggota yang sekarang ini ingin mempertahankan status quo di dapil masing-masing," ujar Lucius.