Ketua Majelis Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva memimpin penyumpahan saksi dalam sidang ke-3 perselisihan hasil pemilhan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (11/8/2014). Pasangan Prabowo-Hatta menuntut agar MK membatalkan SK KPU yang menetapkan pasangan nomor urut 2 Joko Widodo - Jusuf Kalla sebagai pemenang dalam Pilpres 2014. |
JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi menyelesaikan satu tahap penting dalam perkara sengketa Pemilu Presiden 2014 yang diajukan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yaitu pemeriksaan saksi fakta. Pada Jumat (15/8/2014) ini, "perang" ahli bakal terjadi. Keterangan ahli dibutuhkan untuk memperkuat dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan.
"Kami akan mengajukan enam hingga tujuh ahli kalau disetujui majelis hakim," ungkap Maqdir Ismail, anggota tim hukum Prabowo-Hatta, Kamis (14/8). Sesuai informasi yang dihimpun dari Kepaniteraan MK, Kamis malam, saksi-saksi ahli tim Prabowo-Hatta terdiri dari Yusril Ihza Mahendra, Irman Putra Sidin, Margarito Kamis, Said Salahudin, Rasyid Saleh, dan Marwah Daud Ibrahim.
Dipastikan, pihaknya akan mengajukan ahli yang mampu menjelaskan hubungan antara pertambahan penduduk dan daftar pemilih tetap. Pihaknya mencatat adanya pertambahan jumlah pemilih yang mencapai 3,5 juta dari 13 Juni hingga 9 Juli. Selain itu, diajukan juga ahli tata negara serta ahli pemilu.
Adapun kuasa hukum KPU, Ali Nurdin, menghadirkan empat ahli. Mereka adalah mantan anggota KPU Ramlan Surbakti, mantan hakim konstitusi Harjono, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Erman Rajagukguk, serta Didik Supriyanto.
"Pak Harjono sebagai mantan hakim MK yang sudah berpengalaman menangani sengketa pemilu tentu bisa membedakan pelanggaran sistematis atau yang hanya administratif. Dan, apakah pelanggaran administratif masuk dalam pelanggaran terstruktur, sistematis, dan logis. Pak Ramlan akan menerangkan hal-hal terkait administrasi pemilu terkait DPKTb. Apakah DPKTb ini masalah atau tidak,” ujar Ali.
Sementara tim hukum Jokowi-JK sebagai pihak terkait akan mengajukan dua ahli. Keduanya adalah Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang Saldi Isra dan mantan anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo.
Ketua MK Hamdan Zoelva memberikan kesempatan hingga Kamis (14/8) pukul 20.00 untuk mengajukan nama-nama beserta curriculum vitae ahli yang diajukan. Ketika Maqdir meminta penambahan jumlah ahli yang akan diajukan (dari lima menjadi tujuh), Hamdan mengungkapkan untuk apa mengajukan banyak ahli jika pendapatnya sama. Namun, ia menyerahkan kembali kepada pemohon terkait hal itu.
Tak mampu buktikan dalil
Ali Nurdin menilai, selama lima kali sidang sengketa pilpres, pemohon gagal membuktikan dalil-dalilnya terkait kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Dari saksi-saksi yang hadir, dalil kecurangan masif sama sekali tak terlihat. Seperti diketahui, tim Prabowo-Hatta mendalilkan kecurangan masif di 33 provinsi. Namun, Ali mencatat, pemohon hanya berusaha membuktikan di 12 provinsi.
Di Pulau Sumatera, pemohon hanya mempermasalahkan Sumatera Utara. Dari 33 kabupaten/kota di Sumut, pemohon hanya menyoal perolehan suara di Kabupaten Nias Selatan. Di Banten, pemohon hanya menyoal dua kabupaten (Tangerang Selatan dan Kota Tangerang). Di Jawa Tengah, hanya menyoal enam dari total 35 kabupaten.
Terakhir, pemohon mengajukan persoalan yang mengemuka di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dari 14 kabupaten yang didalilkan bermasalah karena tidak ada pemungutan suara, pemohon hanya membuktikan di beberapa tempat. ”Dalil masif ini gugur. Rontok. Kalau masif, kan, seharusnya unsur meluasnya terpenuhi,” ujar Ali.
Seperti diketahui, tim Prabowo-Hatta juga menyoal kesalahan rekapitulasi akibat sekitar 46.000 dokumen C1 ilegal. Kedua, mereka menilai pilpres cacat hukum. Ketiga, pemohon mendalilkan terjadinya kecurangan TSM oleh penyelenggara dengan cara mobilisasi pemilih menggunakan daftar pemilih tambahan (DPTb) dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb), pengondisian hasil, politik uang, penyelenggara yang mencoblos surat suara, dan pemilih yang mencoblos lebih dari satu kali.
Dari sidang yang digelar lima hari terakhir, problem DPKTb banyak dipersoalkan, terutama untuk wilayah DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Sumut. Pencoblosan oleh penyelenggara diduga terjadi di salah satu TPS di Nias Selatan, tetapi hal tersebut dibantah KPU.
Menurut Maqdir, pihaknya sebenarnya siap menghadirkan saksi-saksi yang dibutuhkan. Namun, atas pertimbangan waktu, hal itu tidak mungkin dilakukan. Pihaknya akhirnya hanya mengambil sampel untuk menjelaskan persoalan di semua wilayah. (ANA)