Ilustrasi |
JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menegaskan, kekerasan pada anak sudah sangat mengerikan dan bisa dikatakan pada tahap darurat. Fakta itu terungkap dari data kekerasan yang diterima Komnas Perlindungan Anak cenderung meningkat.
Berdasarkan laporan yang diterima Komnas PA, ujar Arist, di kawasan Jabodetabek pada 2010 mencapai 2.046 kasus. Laporan kekerasan pada anak tahun 2011 naik menjadi 2.462 kasus. Pada 2012 naik lagi menjadi 2.626 kasus dan pada 2013 melonjak menjadi 3.339 kasus.
”Bahkan, dalam tiga bulan pertama 2014, kami menerima 252 laporan kekerasan pada anak,” ungkap Arist. Laporan kekerasan pada anak yang masuk ke Komnas PA didominasi kejahatan seksual yang dari 2010 hingga 2014 angkanya berkisar 42-62 persen.
Kekerasan sering terjadi di tempat yang selama ini dianggap sebagai surga bagi anak-anak, yakni di rumah dan sekolah. ”Kekerasan sering terjadi di dua lokus itu, rumah dan sekolah,” ujarnya. Untuk mencegah kekerasan yang terjadi di tempat yang seharusnya aman bagi anak itu, lanjut Arist, peran serta masyarakat menjadi salah satu ujung tombaknya.
Ironisnya lagi, kematian yang menimpa Renggo Khadafi (10), setelah dianiaya kakak kelasnya, Sy, di dalam kelas SD Negeri 9 Makasar, Jakarta Timur, tak memberikan pelajaran bagi pengajar di sekolah itu. Kepala SDN 9 Makasar Sri Hartini, saat ditemuiKompas, berdalih tak ada kesalahan dalam pengawasan terhadap siswa dan menilai Sy anak yang baik.
Sri mengaku, saat terjadi penganiayaan, ada guru piket yang bertugas, yaitu Rosmida. Namun, Sri tak bisa menjelaskan kenapa kasus itu bisa terjadi di dalam kelas. "Ya, kasus ini kami serahkan kepada kepolisian," kata Sri.
Sri malah mengatakan selama ini tak pernah ada kasus kenakalan yang dilakukan Sy. "Sy anak yang baik, tak pernah melakukan kenakalan," katanya. Renggo tewas pada Minggu, 4 Mei 2014, setelah lima hari menderita sakit parah setelah dianiaya kakak kelasnya, Sy, Senin (28/4/2014). Penganiayaan terjadi di dalam kelas V yang berdampingan dengan ruang kepala sekolah.
Wali kelas Renggo, Prihastuti, mengaku, dua hari sebelum Renggo tewas sempat ada kesepakatan damai antara orangtua asuh Renggo dan orangtua Sy. ”Namun, saya tidak menyangka akan seperti ini (Renggo meninggal),” katanya.
Menurut ibu asuh Renggo, Yessi Puspa Dewi (31), kesepakatan damai itu ditawarkan oleh kepala sekolah karena penganiayaan yang dialami Renggo dianggap sebagai kenakalan anak. Yessi mengaku hanya menerima kesepakatan itu jika Renggo sembuh. Karena Renggo meninggal, dia tetap memperkarakan secara hukum.
Kepala Kepolisian Resor Jakarta Timur Komisaris Besar Mulyadi Kaharni mengungkapkan, kepada penyidik, Sy mengakui telah memukul Renggo. Namun, karena masih di bawah umur, Sy masih dijadikan saksi dan tidak ditahan.
Korban 89 anak
Dari Sukabumi, Jawa Barat, dilaporkan, korban pencabulan yang dilakukan tersangka AS (24) di Kota Sukabumi berjumlah 89 anak. Senin (5/5/2014), sebanyak 16 korban melapor ke Polres Sukabumi Kota. Sehari sebelumnya, jumlah korban tercatat sebanyak 73 anak.
”Korban yang telah kami periksa sebanyak 61 anak. Dari 61 anak itu, enam anak menderita lecet dan satu orang mengalami pendarahan. Pemeriksaan kesehatan ditangani dinas kesehatan. Pelaku akan kami periksa lebih intensif,” kata Kapolres Sukabumi Kota Ajun Komisaris Besar Hari Santoso.
Pemeriksaan, antara lain, untuk mengetahui rentang waktu pencabulan AS. Korban melaporkan kekerasan itu sejak Jumat akhir pekan lalu. Lokasi pencabulan di Pemandian Air Panas Santa, Kecamatan Citamiang, Kota Sukabumi.
Pemerintah Kota Sukabumi menyiapkan tempat untuk penanganan kesehatan fisik dan psikologis korban. Lokasinya berada di Rumah Dinas Wali Kota Sukabumi Mohamad Muraz. Lokasi itu tertutup bagi masyarakat, termasuk wartawan.
”Korban akan ditangani satu atap. Pada 2 Mei saya buat Surat Keputusan tentang Pencegahan dan Penanganan Dampak Kekerasan Seksual terhadap Anak di Kota Sukabumi. SK itu untuk menanggapi peristiwa luar biasa belakangan ini,” kata Mohamad Muraz tentang SK Nomor 92 Tahun 2014 itu, Senin.
Dari Tuban, Jawa Timur, dilaporkan, Sw (40), pedagang asongan buku dan poster, ditangkap warga di Terminal Bus Pariwisata Sunan Bonang, Minggu (4/5/2014), terkait kasus kekerasan seksual pada sembilan anak. Sw melakukan itu dengan dalih ingin menghilangkan penyakit atau pengaruh jin yang ada pada korbannya.
Sw mengakui perbuatan menyimpangnya sejak 2005. Pria asal Kendari, Sulawesi Tenggara, tersebut mengakui semua itu dilakukan untuk menghilangkan amalan jin. Korban harus mau dijadikan obyek tindak kejahatan seksual guna menghilangkan pengaruh negatif pada tubuhnya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Tuban Ajun Komisaris Wahyu Hidayat, Senin, menuturkan, awalnya korban ditipu daya dulu. Saat korban menurut baru dilakukan kejahatan tersebut.
Miskin nilai
Pedagog Arief Rachman amat prihatin mendapati dunia pendidikan yang digelutinya berpuluh tahun tak juga terlepas dari kekerasan. ”Kalau dilihat dari kata pendidikan, secara hukum dan teoretis kita sudah benar. Akan tetapi, ada kekeliruan dalam realisasinya. Di lapangan terjadi pergeseran nilai secara menyeluruh. Sukses selalu dihubungkan dengan materi, status, dan gelar, sementara masalah moral spiritual dibiarkan miskin.”
Di bidang ekonomi, misalnya, yang diprioritaskan adalah untung besar tanpa peduli proses mendapatkannya. Di bidang pendidikan, masih saja terjebak pada target berapa jumlah siswa yang bisa lulus ujian nasional dan tingginya nilai yang diperoleh murid. Di sekolah, guru baru dalam tahap mengajar bukan mendidik. "Karena mendidik itu seharusnya mengedepankan proses yang baik, kejujuran, serta taat pada aturan, norma, dan nilai," ujar Arief.