Pilot dan Kapten Sukhoi Superjet-100, Alexander Yablontsev. REUTERS/sergeydolya.livejournal.com/Handout |
TEMPO.CO , Jakarta:- Pilot Sukhoi Superjet 100, Aleksandr Yablontsev, diduga ingin melakukan manuver pada Rabu, 9 Mei 2012. Dugaan itu diungkapkan seorang investigator Rusia. “Dia mau terbang di celah dua puncak gunung,” kata si investigator Rusia.
Gunung Salak sendiri memiliki tiga pucuk dengan lembah yang curam. Tapi Yablontsev tak paham kontur jalur ke Pelabuhan Ratu itu. Sontak ia terkejut ketika membelokkan pesawat ke kanan justru mengarah ke tebing Salak.
“O Bozhe, chto eto takoe? (Ya, Tuhan, apa ini?)," teriak Yablontsev dalam rekaman kotak hitam.
Bila dilihat dari goresan tebing akibat benturan Sukhoi, terlihat kalau Yablontsev berniat menaikkan armadanya. Tapi waktu dan jarak yang ia miliki terlalu mepet. Tumbukan pun terjadi.
Kata Presiden IATCA I Gusti Ketut Susila, jarak koordinat pesawat pada saat kontak terakhir dengan Gunung Salak hanya 14 kilometer. Dengan kecepatan 290 knot atau 450 kilometer per jam, pilot hanya punya waktu sembilan detik menghindari tebing.
Menurut seorang petugas di Cengkareng, petugas yang memandu Sukhoi pada hari nahas itu memiliki andil dalam kecelakaan. “Semestinya pemandu tak menyetujui permintaan pilot berbelok ke kanan karena di monitor radar sebenarnya tercantum gunung,” ujarnya.
Aleksandr Yablontsev adalah pilot senior berusia 57 tahun. Sepanjang karir, ia sudah menerbangkan 221 jenis pesawat dengan 14 ribu jam terbang. Pernah menjadi pilot pesawat tempur, Yablontsev juga terlibat membangun Sukhoi sejak 2004.
"Melihat pengalaman dan keahliannya, Yablontsev diduga berniat menunjukkan kecanggihan Sukhoi kepada tamu-tamunya," ujar investigator. Baca selengkapnya di laporan utama majalah Tempo, "Musabab Jatuhnya Sukhoi", edisi Senin, 18 Juni 2012.