KBRI Kairo melepas kepulangan 8 orang WNI korban perdagangan orang/Foto: Dok. KBRI Kairo
Kairo - KBRI Kairo memulangkan 8 orang WNI korban perdagangan orang. Mereka mendapat kekerasan verbal dan fisik, beban kerja terlalu berat, serta gaji tak dibayar.
Para korban ini berasal dari Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB dan Jawa Timur. Mereka dipekerjakan sebagai tenaga kerja domestik secara non-prosedural di Mesir.
Dubes RI di Kairo Helmy Fauzy melalui rilis KBRI Kairo yang diterima detikcom, Jumat (25/11/2016), berpesan agar mereka tidak mengulangi kesalahan sama dan dapat menjadi pembawa pesan positif anti-perdagangan orang.
"Dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga dan tetangga masing-masing di kampung," ujar Dubes saat melepas kepulangan para korban.
Kisah Tati binti Andi Ruba, salah satu korban yang dipulangkan, cukup mengenaskan. Tati sebelumnya pernah bekerja di Oman selama 3 tahun dan berhasil membelikan sebidang tanah dan mendirikan rumah untuk orang tuanya di Banten.
Foto: Dok. KBRI Kairo
KBRI Kairo melepas kepulangan 8 orang WNI korban perdagangan orang
Tati kemudian menikah dan memilih mengurus anak dan keluarganya di Lampung, tanah kelahiran suaminya. Namun kemudian, suami, mertuanya dan iparnya memaksa Tati untuk bekerja kembali ke luar negeri.
Ketika Tati akan berangkat, ternyata diketahui bahwa dia hamil anak kedua. Kemudian keluarga suaminya menyiksanya dan suaminya menceraikannya, sehingga Tati kembali pada orang tuanya di Banten.
Dalam keadaan fisik dan psikologis yang lemah, Tati terpaksa berutang kepada rentenir sampai Rp 12 juta. Jumlah utang inilah yang memaksa Tati menyetujui jaringan perdagangan orang yang memberangkatkan dirinya ke Mesir pada Juni 2016, hingga akhirnya Tati berhasil melarikan diri ke shelter KBRI Kairo pada Oktober 2016.
Menurut koordinator Fungsi Protkons KBRI Kairo Windratmo, dengan pemulangan ini, maka KBRI Kairo telah memulangkan 70 orang WNI undocumented sepanjang tahun 2016.
Dari sisi finansial, KBRI Kairo pun telah berhasil memperjuangkan hak-hak finansial para korban yang jika dirupiahkan setara dengan Rp 300 juta, berupa hak-hak gaji, kompensasi maupun hak dalam bentuk lainnya.
Seluruh korban juga mengaku tidak mengerti mengenai peraturan ketenagakerjaan Indonesia yang melarang adanya pengiriman TKI informal ke Timur Tengah (SK No. B 26/MEN/PPTK-PTKLN/III/2016).
(es/fdn)