JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Informasi Publik Kementerian Pertanian (Kementan) Agung Hendriadi mengatakan, pernyataan bahwa kesejahteraan petani menurun karena Nilai Tukar Petani (NTP) turun adalah kurang tepat.
Menurutnya, NTP bukan satu-satunya indikator untuk mengukur kesejahteraan petani.
"Di samping NTP, ada Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) yang lebih mencerminkan kelayakan usaha petani," ujar Agung melalui keterangan resmi kepada Kompas.com, Jumat (17/3/2017).
Menurut Agung, guna menggambarkan kemampuan daya beli petani, juga bisa dilihat dari upah buruh tani. B
adan Pusat Statistik menyebutkan upah nominal harian buruh tani nasional selama Februari 2017 ialah Rp 49.268 per hari atau naik 0,55 persen dari Januari 2017.
Sementara itu, upah riil buruh tani naik 0,16 persen dari Rp 37.064 per hari menjadi Rp 37.125 per hari.
"Ini menggambarkan adanya peningkatan daya beli buruh tani. Tidak benar bahwa kesejahteraaan petani menurun," kata Agung.
Menurut dia, naik turunnya NTP tidak semestinya diukur secara bulanan atau musiman. "Untuk menganalisis NTP mestinya dalam kurun waktu enam bulan atau setahun," lanjut dia.
Selain itu, lanjut Agung, lebih tepat lagi, apabila kesejahteraan petani juga diukur berdasarkan aset yang dimiliki, apakah meningkat ataupun menurun dari tahun ke tahun.
Dia mengingatkan, perlu juga dipahami bahwa investasi pemerintah, khususnya dalam pengadaan infrastruktur dan alsintan, serta subsidi pupuk dan bantuan benih.
Hal-hal itu akan berdampak pada menurunnya biaya produksi yang harus dibayar oleh petani.
"Yang ini mungkin tidak pernah diperhitungkan dalam menghitung NTP," pungkasnya.
Penulis | : Pramdia Arhando Julianto |
Editor |
: Aprillia Ika |