Pemungutan Suara Ulang - Warga mengikuti pemungutan suara ulang di TPS 5, Dusun Jati, Desa Sriharjo, Imogiri, Bantul, DI Yogyakarta, Minggu (13/4). Pemungutan suara ulang dilakukan karena 10 lembar surat suara pada Pemilu sebelumnya di TPS itu tertukar dengan surat suara untuk daerah pemilihan Kabupaten Sleman. |
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat Politik dari Universitas Gadjah Mada Ari Sudjito menilai, pembahasan RUU tentang Pemilihan Kepala daerah (RUU Pilkada) yang salah satunya mewacanakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, seperti mengembalikan Indonesia ke masa Order Baru. Mekanisme ini, menurut dia, akan menimbulkan persekongkolan antara legislatif dengan eksekutif.
"Pola oleh DPRD akan menjebak elitisasi kekuasaan. Persis zaman orba," ujar Ari, saat dihubungi Kompas.com, Senin (8/9/2014).
Menurut Ari, jika wacana ini direalisasikan akan menjadi sebuah kemunduran bagi demokrasi. Ia mengatakan, jika ingin mengoreksi Pilkada langsung yang diterapkan saat ini, seharusnya dilakukan dengan pendidikan politik. Tidak dengan cara mengambil alih suara rakyat ke parlemen.
Ari mengatakan, tidak ada garansi pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan memperbaiki kualitas demokrasi. Bahkan, kata dia, cara ini akan menyumbat suara rakyat.
"Aspirasi dan kontrol didelegasikan ke DPRD. Padahal watak parpol belum berubah," kata Ari.
Alasan efisiensi biaya sebagai dasar wacana ini, dinilai Ari, tidak tepat. Upaya yang dapat dilakukan, selain pendidikan politik, juga mengedukasi masyarakat soal politik uang.
"Bukan pembatasan suara rakyat di pilkada," kata Ari.
Sebelumnya, manuver politik dilakukan oleh Koalisi Merah Putih di parlemen terkait pembahasan Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Koalisi Merah Putih tidak ingin kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, tetapi oleh DPRD. Berdasarkan catatan Kompas, pada pembahasan Mei 2014, tidak ada fraksi di DPR yang memilih mekanisme pemilihan gubernur oleh DPR. Namun, sikap parpol Koalisi Merah Putih, selain PKS, berubah pada 3 September 2014.
Partai Golkar, Partai Gerindra, PAN, PPP, dan Partai Demokrat memilih mekanisme pemilihan gubernur oleh DPRD. Begitu pula pemilihan bupati/wali kota. Hanya Demokrat dan PKB yang memilih mekanisme dipilih oleh DPRD pada pembahasan Mei 2014. Sikap fraksi lalu berubah pada September 2014. Partai Golkar, PAN, PPP, Gerindra, dan Demokrat juga memilih mekanisme kepala daerah dipilih oleh DPRD.