Satgas Perlindungan Anak menggelar doa bersama dan aksi 1.000 lilin untuk bocah perempuan yang ditemukan tewas terbunuh dan dikubur di halaman belakang rumahnya, Angeline di Bundaran HI, Jakarta, Kamis (11/6) malam.(Republika/Agung Supriyanto) |
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan, kekerasan terhadap anak tak boleh dipandang remeh. Sebab anak merupakan masa depan bangsa.
Negara, ujar Susanto, tidak boleh kalah dengan pelaku kejahatan terhadap anak. "Untuk mencegah agar tak ada anak Indonesia yang bernasib seperti Angeline, bangsa ini harus melakukan revoluasi mental," ujarnya, Ahad, (14/6).
Revolusi mental tersebut antara lain, pertama pandangan yang memposisikan anak sebagai milik dan boleh diperlukan semaunya, harus dicegah. Kedua, gubernur, walikota, bupati perlu melakukan promosi intensif terkait perlindungan anak, hingga memanfaatkan kelembagaan RT dan RW sebagai pioner promosi perlindungan anak.
Ini termasuk bagaimana membangun mekanisme pencegahan, penanganan dan pelaporan dugaan kekerasan terhadap anak.
Ketiga, terang Susanto, tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh budaya penting mengambil peran untuk melakukan penyadaran masyarakat pentingnya perlindungan anak. Keempat, mengintegrasikan muatan perlindungan anak dalam khutbah Jumat, khutbah di gereja dan aktifitas ceramah keagamaan lainnya.
Kelima, ujar dia, pastikan calon pengantin sudah terbangun perpektif perlindungan anak sebelum menikah. Keenam, pastikan sekolah aktif mempromosikan perlindungan anak.
Ketujuh, lanjut Susanto, pastikan pengasuh, kakek, nenek, dan baby sitter memahami pola pengasuhan yang ramah anak.