Fabian Januarius Kuwado|
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat rapat terbatas di Kantor Presiden, Selasa (19/7/2016).
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalladalam dua tahun masa jabatannya dinilai mengalami defisit demokrasi.
Indikasi ini terlihat dengan partisipasi politik masyarakat dalam rangka membangun Indonesia yang mulai melemah.
Ini terlihat dari berkurangnya suara-suara kritis dari elemen masyarakat kepada pemerintah.
"Di satu sisi politik kita stabil, tapi di sisi lain demokrasi kita terancam," ujar Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Ari Nurcahyo, dalam diskusi di Jakarta, Jumat (21/10/2016).
Ari menuturkan, melemahnya suara kritis masyarakat dan parlemen disebabkan banyaknya elemen masyarakat yang menjadi pendukung Jokowi-JK.
Mereka terlanjur berharap besar pada pemerintahan Jokowi-JK. Alhasil, mereka tidak menimbulkan jarak dalam melihat kinerja pemerintah.
"Karena harapan begitu besar, apalagi banyak dari elemen kritis. Sehingga mereka menjadi melekat sama pemerintah sekarang. Berlebihnya harapan ini melemahkan potensi kritis," tutur Ari.
Selain itu, masalah politik identitas juga menjadi hambatan bagi masyarakat bawah untuk berani berpendapat.
"Isu politik identitas, SARA menguat di publik sehingga menjadi teror sendiri buat masyarakat bawah, ketika kebebasan berekspresi berbeda pendapat," ucap Ari.
Menurut Ari, melemahnya suara kritis dari masyarakat membuat fungsi pengawasan terhadap pemerintah tidak berjalan baik.
"Kalau melemahnya suara kritis itu melemahkan check and balances terhadap power hegemony yang menjalankan kekuasaan pada hari ini," ucap Ari.
Ari mengatakan, seharusnya masyarakat memberikan jarak pada pemerintah agar mampu mengkritisi dengan baik. Sehingga, pemerintah dapat diingatkan jika melakukan kesalahan.
"Seharusnya kita berjarak dari pemerintah. Kita harus bisa tetap kritis. Jangan sampai ini membuat pemerintah terlena dan kemudian tidak sesuai jalur," kata Ari.
Penulis | : Dimas Jarot Bayu |
Editor |
: Bayu Galih |