Empek alias Ang Tjui Ho, salah satu korban dan saksi mata Bekasi Lautan Api (Foto: Randy Wirayudha)
BEKASI di awal masa revolusi, bak wild wild west atau daerah yang liar. Setiap jawara punya anak buah yang kemudian dibentuk laskar. Mereka memegang daerah masing-masing dan itu membuat Bekasi acap tak bisa diatur pemerintah republik di Jakarta.
Padahal saat Republik Indonesia belum lama lahir dan sudah kedatangan tamu “penting” yang memenangi Perang Dunia II – sekutu, berupaya memberikan image atau citra yang baik demi diakuinya kedaulatan republik pascaproklamasi 17 Agustus 1945.
Sayangnya, apa kata pemerintah pusat, lain ceritanya jika sudah di Bekasi. Alhasil, pemerintah pusat pun tak berdaya kecuali melayangkan protes, ketika pada 13 Desember 1945, sekutu memberi “hukuman” berupa pembumihangusan Bekasi – Bekasi Inferno.
Disebut inferno karena pada saat itu, sebagian besar wilayah Bekasi dibakar dan dibombardir dari udara dan artileri sekutu. Suasana daerah di sebelah timur Jakarta pun layaknya neraka (inferno), setelah Bekasi dijadikan lautan api.
Pesawat Dakota Sekutu Jatuh di Cakung
Semua itu tak lepas dari insiden pembantaian 25 personel sekutu pada 23 November di tahun yang sama. Mereka dibantai setelah sempat selamat ketika Pesawat Dakota yang mereka tumpangi jatuh karena kerusakan mesin di Rawa Gatel, Cakung (dulu masih wilayah Bekasi).
Ke 25 personel sekutu, baik tentara Inggris maupun awak pesawat, sudah kadung panik setelah masyarakat sekitar mengerubungi mereka. Tembak-menembak sempat terjadi, hingga pasukan sekutu itu ditangkap.
Singkat kata, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kala itu jumlahnya kecil dibandingkan dengan masyarakat dan laskar yang sudah geram, tak mampu berbuat banyak. Para tentara sekutu itu satu per satu dibunuh laskar-laskar liar, baik dalam perjalanan menuju penahanan, maupun saat sudah di tempat penahanan.
Jelas hal itu membuat marah Panglima Tertinggi Sekutu di Indonesia saat itu, Jenderal Philip Christison. Sepekan setelah jatuhnya pesawat sekutu, Inggris pun mengerahkan kekuatannya untuk mengobrak-abrik Bekasi.
Kisah serdadu Inggris melakukan sweeping mencari “pemuda” alias gerilyawan republik yang dianggap bertanggung jawab, masih lekat di benak seorang empek atau kakek keturunan Tionghoa yang ditemui Okezone, di salah satu sudut Kota Bekasi beberapa waktu lalu.
Penduduk Bekasi Di-Sweeping Sekutu
Empek bernama asli Ang Tjui Ho ini, jadi salah satu saksi mata sekaligus korban, di mana rumahnya di sekitar Pasar Lama, Pecinan Bekasi, ikut dibakar tentara Inggris. Empek bisa selamat dari penangkapan, karena dirinya bukan pemuda pribumi.
“Iya dulu itu (13 Desember 1945) datang banyak pasukan ubel-ubel (pasukan British India) gedor-gedor rumah. Waktu itu saya di rumah sendiri, karena ibu masih dagang di pasar (lama pecinan),” kenang Empek kepada Okezone.
“Saya diseret keluar rumah. Mereka interogasi setiap orang di sekitar rumah saya juga pakai bahasa India. Mereka hanya ngerti satu bahasa Indonesia. ‘Pemuda, pemuda!’ Cuma itu yang mereka tahu bahasa Indonesia, karena mereka cari pemuda,” tambah pria tua yang sudah berusia 89 tahun itu.
Empek nyaris dibawa dan ditangkap pasukan Inggris karena dianggap pemuda. Saat itu, usianya memang sudah sekira 17 tahun. Beruntung, Empek luput dari penangkapan sekutu yang memang mencari para pemuda yang bertanggung jawab membantai 25 tentara Inggris pascajatuhnya Pesawat Dakota di Cakung.
“Mereka tanya sambil todong senjata ke kepala. ‘Pemuda, pemuda?’. Ya kalau ditanya pemuda, saat itu saya juga usianya sudah termasuk pemuda. Tapi saya dilepasin habis tunjukkin surat (pengenal) dari zaman Jepang dulu, yang menyatakan bahwa saya Tionghoa,” sambung Empek.
Empek pun setelah itu mengaku disuruh pergi dari rumahnya, karena rumahnya ikut dibakar. Saat itu, hampir setiap bangunan di Pecinan Bekasi ikut dibumihanguskan, kecuali kelenteng di pasar lama.
“Diseret keluar, karena Inggris saat itu mau bakar rumah saya sama rumah-rumah yang lain juga. Saya sebelum diseret keluar, disuruh bawa keperluan dari rumah. Habis itu ikut dikumpulkan di dekat stasiun yang sekarang jadi Kantor Pegadaian. Di situ baru saya ketemu ibu saya,” lanjutnya.
Empek dan ibunya pun terpaksa ikut mengungsi bersama ribuan warga Bekasi lainnya. Saat itu, mereka senasib untuk sementara sebagai tunawisma akibat rumah-rumah mereka dibakar.
Tapi dalam perjalanan mengungsi ke arah Klender, Empek dan ibunya bertemu kerabat lainnya dan beruntung, rumah sang kerabat tidak sepenuhnya ludes terbakar.
“Kita ngungsi ke rumah saudara itu. Walau sempat terbakar, tapi rumah saudara masih sedikit utuh. Kita masih bisa mengungsi ke situ. Sehari setelah pembakaran sebenarnya masih terdengar suara tembakan, suara mortir,” ungkapnya lagi.
“Ya kita biasanya ngumpet di kolong tempat tidur kalau dengar tembakan atau suara mortir. Biasanya kalau mortir kan sebelum meledak, ada suara siulannya gitu. Sambil berdoa dan ya pasrah. Kalau pun kena mortir, ya bareng-bareng dah di kolong tempat tidur,” ujarnya sembari sedikit tertawa mengenang masa-masa itu.
Peristiwa Bekasi Inferno atau Bekasi Lautan Api ini tentu saja mencuatkan protes keras dari pemerintah republik. Diwakili Perdana Menteri Sutan Sjahrir kala itu, Indonesia melayangkan protes melalui pidato radio pada 19 Desember 1945.
Media-media asing juga kemudian ikut menyoroti dan bahkan, menyamakan pemusnahan Bekasi oleh sekutu itu dengan pemusnahan Kota Lidice di Cekoslovakia yang dilakukan Nazi Jerman, pada era Perang Dunia II.
(raw)