ilustrasi penjara |
JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia ( MaPPI FH UI), Adery Saputoro menilai pelaku tindak pidana korupsi dapat memperoleh remisi tanpa harus berstatus sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau Justice Collaborator (JC).
Salah satu poin dalam rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP No 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, adalah syarat pemberian remisi bagi narapidana korupsi yang dinilai dipermudah.
Dalam draf revisi PP tersebut disebutkan bahwa ketentuan JC sebagai syarat remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika, dihilangkan.
Dengan demikian, terpidana kasus tersebut bisa mendapat remisi dengan dua syarat pokok, yakni berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa pidananya.
"Saya memandang, kita harus lihat adil. Kalau memang seorang koruptor ada penilaian baik dengan syarat penilaian dilakukan secara transparan ya," kata Adery saat dihubungi Kompas.com, Senin (15/8/2016).
Adery mengatakan selama ini penilaian pemberian status JC tidak dilakukan secara transparan. Tanpa mekanisme pemberian remisi yang jelas, kata dia, bisa berbahaya.
"Yang menjadi cataan adalah ketika nanti remisi, bagaimana mekanisme penilainya. Nah ini yang bermasalah, enggak clear. Ini membahayakan," ucap Adery.
Menurut Adery, penilaian pemberian remisi harus dipublikasikan kepada publik. Publik berhak mengetahui berbagai indikator penilaian terpidana dalam mendapatkan remisi.
"Di satu sisi lapas penuh. Disisi lain, jangan sampai jadi permainan kalau transparansi belum diperbaiki," ujar Adery.
Dikutip dari Kompas, Rabu (10/8/2016), Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia I Wayan Kusmiantha Dusak mengatakan, upaya revisi PP No 99/2012 itu mendesak dilakukan mengingat kondisi LP yang kian padat.
Di sisi lain, pelaksanaan justice collaborator (JC) selama ini justru dimanfaatkan oknum penegak hukum yang tidak taat prosedur.
"Status JC tidak jarang menjadi komoditas yang diperjualbelikan," katanya.
Mengenai napi korupsi, Dusak beranggapan, penegakan hukum terhadap koruptor seharusnya selesai di pengadilan, sebab di sana ada jaksa yang menuntut dan hakim yang memvonis. Adapun peran LP adalah memasyarakatkan kembali para terhukum.
Di sisi lain, beban lapas yang berat karena jumlah napi yang kini mencapai lebih dari 180.000 orang harus segera diatasi.
"Pemudahan remisi dimaksudkan untuk mengurangi beban LP. Sejak adanya PP No 99/2012, sekitar 65.000 napi narkotika tidak bisa mendapatkan remisi. Dalam kondisi semacam ini, pemasyarakatan tidak mampu menampung mereka dengan layak," ujar Dusak.