Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono, dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (26/11/2015)
Hal ini terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi Pasal 5 ayat 1 dan 2, Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta Pasal 26A UU No 29 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebelumnya, uji materi yang teregistrasi dengan nomor perkara 20/PUU-XIV/2016 atas pasal tersebut diajukan oleh Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto.
"ICJR mengingatkan kembali kepada pemerintah agar pemerintah mulai mempersiapkan Undang-Undang khusus tentang penyadapan," kata Supriyadi, melalui keterangan tertulis, Jumat (21/10/2016).
Sebelum ada putusan MK, Pasal 5 Ayat 1 UU ITE menyebutkan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Pasal 5 Ayat 2 mengatur, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Sementara, Pasal 44 UU ITE menyebutkan, alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut: b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Melalui putusannya, MK telah menyatakan frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” dalam pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
MK kemudian mengganti frasa tersebut menjadi “Khususnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik".
Sehingga, pasal tersebut harus dibaca sebagai berikut: Pasal 5 UU ITE ayat 1 menyatakan, khususnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Ayat 2, Khususnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Kemudian, pada Pasal 44 UU ITE menyatakan, alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut: b. alat bukti lain berupa Khususnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Menurut Supriyadi, putusan MK akan mengubah status dari informasi elektronik dan dokumen elektronik dalam penegakan hukum pidana.
"Akibatnya maka seluruh informasi elektronik/dokumen elektronik yang dapat menjadi bukti harus diperoleh berdasarkan prosedur sesuai pasal 31 ayat (3) UU ITE, di luar itu maka informasi elektronik/dokumen elektronik tidak diperbolehkan sebagai bukti," kata dia.
ICJR, kata Supriyadi, melihat putusan MK atas UU tersebut memunculkan problematika.
"Jika dikaitkan dengan sebuah pertanyaan sederhana, 'Apakah rekaman tindak pidana, misalnya pembunuhan, perkosaan, pencurian dengan pemberatan yang diambil oleh pribadi (bukan Aparat penegak hukum) yang ada dalam sebuah tempat yang privat/bukan publik tidak dapat menjadi bukti/Petunjuk dalam Peradilan?' Sepertinya, jika melihat putusan MK maka pertanyaan diatas menjadi jelas," papar dia.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera mempersiapkan UU khusus penyadapan.
Supriyadi mengatakan, perlunya UU Penyadapan ini telah diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No 5/PUU-VIII/2010 tertanggal 24 Februari 2011.
Melalui UU Penyadapan, ICJR menilai, akan terbuka peluang untuk memperbaiki kedudukan barang bukti elektronik dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
"Dalam perkara No 20/PUU-XIV/2016 ini MK kembali mendorong agar pemerintah membuat regulasi khusus tentang penyadapan," kata dia.
Penulis | : Fachri Fachrudin |
Editor | : Inggried Dwi Wedhaswary |