Petugas berupaya memadamkan kebakaran hutan di Ogan Ilir, Sumatera Selatan, 5 September 2015. Kebakaran hutan disebabkan oleh pembersihan lahan secara ilegal di Sumatera dan kalimantan. |
JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah Indonesia menyiapkan "solusi permanen" untuk mencegah terulangnya kebakaran hutan dan lahan. Salah satunya ialah dengan mengambil alih lahan-lahan milik perusahaan yang terbakar.
Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono mengatakan, pengambilalihan lahan dilakukan untuk restorasi ekosistem sehingga nantinya lahan untuk sementara tak boleh dikelola untuk usaha.
"Itu sebenarnya sudah semacam moratorium. Ini yang lagi kita siapkan konsepnya, bukan hanya rehabilitasi, melainkan mengembalikan keanekaragaman hayati supaya nanti bisa bermanfaat untuk masyarakat. Pemerintah akan hadir di sana," kata Bambang kepada BBC Indonesia, Minggu (20/9/2015).
Pengambilalihan ini, menurut Bambang, tidak hanya terbatas pada lahan-lahan yang terbakar dan sudah diberikan izin konsesinya, tetapi juga pada lahan-lahan yang ikut terbakar tetapi belum masuk dalam bagian konsesi perizinan.
Proses pemulihan yang dilakukan melibatkan unsur masyarakat, termasuk menanami lahan tersebut dengan tanaman-tanaman yang bisa memberikan insentif ekonomi. Selain itu, dilakukan juga pelibatan perangkat desa dan meningkatkan peran pemerintah daerah dari sisi pengawasan.
Nantinya, pemerintah ingin agar ada pengelola di lapangan yang memastikan norma standar pengelolaan hutan terpenuhi sehingga kebakaran hutan dan lahan pada masa depan bisa dicegah.
Bukti baru
Dalam kunjungan kerjanya ke lokasi kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kampar, Riau, pada Minggu (19/9/2015), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, ia menerima laporan perluasan kebakaran di Sumatera seluas 8.000 hektar.
Namun, saat dicek di lapangan, kebakaran yang ada di Sumatera saat ini luasnya sudah mencapai 58.000 hektar.
Menurut Bambang, perbedaan angka ini terjadi karena pendekatan metode yang berbeda selama ini dalam menghitung luas kebakaran hutan dan lahan.
Selama ini, pemerintah menentukan luasnya areal yang terbakar dengan pendekatan hotspot atau titik panas. Kini, lewat pendekatan citra satelit dengan resolusi tinggi, pemerintah bisa menghitung luasan sebenarnya wilayah yang sebenarnya terbakar.
Maka dari itu, pemerintah masih terus memperbarui data luasan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di lapangan.
"Kalau kemarin awal kan dari pendekatan hotspot, terus posko (cek) ke lapangan. Sekarang justru menuju (luas) areal yang sebenarnya terbakar, kita lakukan pendekatan citra satelit dengan resolusi tertentu, analisis terestrial, ground check (pengecekan di lapangan), ketemu berapa lahan yang sebenarnya terbakar dalam konsesi atau di luar konsesi. Pendekatan posko tentu berbeda dari pengamatan udara dengan citra satelit," ujar Bambang.
Data ini nantinya menjadi alat bukti yang lebih kuat untuk menentukan luasan lahan dan hutan yang terbakar dalam proses penegakan hukum di pengadilan.
Menurut Bambang, cara mengecek luas kebakaran hutan dan lahan secara terpadu dengan pendekatan citra satelit, analisis terestrial, dan pemeriksaan di lapangan, adalah langkah baru yang sebelumnya tak pernah diambil.
Akar masalah
Juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara Annisa Rahmawati mempertanyakan kapasitas pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap lahan-lahan yang terbakar dan akan diambil alih oleh negara.
"Ketika lahan ditarik ke negara kemudian tidak ada yang menjaga, apa negara punya kapasitas memonitor setiap lahan bekas kebakaran itu? Saya kira tidak, kecuali bekerja sama dengan masyarakat, korporasi," katanya.
Penegakan hukum, menurut dia, barulah tahap awal yang memang harus dilakukan dalam upaya penanganan kabut asap. Namun, akar masalah kebakaran hutan selama ini, yaitu ekspansi dan pembukaan lahan gambut, malah justru belum tertangani.
Ke depannya, pemerintah juga harus melakukan perlindungan lahan gambut secara total.
"Antara deforestasi, pembukaan lahan gambut, dan kebakaran lahan, ada link-nya di situ," kata Annisa.
Yang dia khawatirkan, proses penyidikan dan investigasi memerlukan waktu sehingga, seperti yang biasanya terjadi, kasus akan lenyap saat kabut asap juga hilang. Butuh cara-cara detail menyelesaikan permasalahan kebakaran hutan.
Moratorium pemberian izin terhadap hutan primer atau lahan gambut yang berlaku selama ini, dalam pandangannya, tidak melindungi lahan gambut sebagai ekosistem besar yang saling berhubungan, tetapi hanya bagian dari wilayah-wilayah terbatas.