Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (kiri) dan Joko Widodo-Jusuf Kalla (kanan) |
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik Universitas Indonesia Agung Suprio menilai kampanye negatif perlu dilakukan sebagai upaya "menelanjangi" lawan politik dan membuka mata publik atas rekam jejak masing-masing kandidat calon presiden dan calon wakil presiden.
"Kampanye negatif dilakukan untuk mengeksploitasi kelemahan lawan, dan masih termasuk dalam kampanye sehat. Bahkan diwajibkan agar pemilih mengetahui rekam jejak kandidat. Saya katakan kampanye negatif seperti menelanjangi para kandidat sehingga pemilih dapat melihat secara utuh para kandidat," kata Agung dihubungi dari Jakarta, Jumat (23/5/2014), seperti dikutip Antara.
Dia mengatakan, hikmah dari kampanye negatif agar publik dapat memastikan seorang kandidat capres dan cawapres benar-benar bersih ketika menjabat.
"Kampanye negatif ini berdasarkan fakta, berbeda dengan kampenye hitam yang dasarnya fitnah dan primordial. Kalau kampanye hitam ini jelas dilarang berdasarkan peraturan tentang kampanye," ucap Agung.
Dia mengingatkan, kampanye hitam justru dapat masuk ranah pidana, dan pelanggaran atas peraturan informasi, telematika, dan elektronika jika dilakukan di televisi, internet, dan sejenisnya.
Untuk mencegah terjadinya kampanye hitam yang dilakukan simpatisan, menurut dia, sebaiknya dua poros koalisi (Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla) saling berkomitmen dan menyerukan kepada pendukungnya untuk melakukan kampanye sehat.
"Selain itu, melaporkan 'black campaign' kepada institusi yang berwenang agar menimbulkan efek jera kepada calon pelaku kampanye hitam," ujar Agung.