KOMPAS.com/Nabilla Tashandra
Wakil Ketua Komisi I DPR, Hanafi Rais di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/7/2016)
JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Hanafi Rais menyatakan Indonesia belum masuk negara dengan kategori darurat terorisme.
Oleh sebab itu, Hanafi menilai, RUU Terorisme harus disusun seproporsional mungkin agar tak menabrak prinsip-prinsip hukum yang sah.
Salah satunya terkait prosedur penahanan yang semestinya dibuat sewajar mungkin.
"Melihat Pasal 43 A dalam draf revisi RUU Terorisme dari pemerintah seolah menunjukan Indonesia sedang krisis dan darurat terorisme, padahal kan tidak," kata Hanafi usai mengikuti rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/10/2016) malam.
Dalam Pasal 43 A seorang terduga teroris diperbolehkan dibawa penyidik untuk ditahan selama maksimal enam bulan di tempat tertentu guna dimintai keterangan.
Karena itu, Pasal 43 A dalam draf revisi RUU Terorisme dikenal dengan pasal guantanamo. Hal itu merujuk pada nama penjara milik Amerika Serikat di wilayah Kuba.
Di tempat itu pada tahun 2002, diketahui ratusan orang ditangkap dan disembunyikan karena diduga terkait jaringan teroris.
Putra Amien Rais itu menambahkan Indonesia belum perlu pasal itu.
Menurutnya dengan mekanisme pelaksanaan hukum yang proporsional tentu pemberantasan terorisme di Indonesia juga akan berjalan kondusif.
Politisi Partai Amanat Nasional itu menuturkan dengan perspektif yang proporsional dalam pemberantasan terorisme, tentu RUU terorisme juga akan memberi porsi pada aspek pencegahan, sehingga meminimalisasi penyebaran radikalisme yang menjadi benih awal.
"Intinya tidak bisa semena-mena juga, kita tidak seperti di Suriah dan negara Timur Tengah lainnya yang memang darurat terorisme," lanjut Hanafi.
Sebelumnya, Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Salman Luthan mengusulkan agar Pasal 43 A dalam draf revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dihapus.
Pasal ini dianggap memiliki banyak celah untuk penyalahgunaan wewenang.
Menurut dia, dalam sistem demokrasi, seharusnya hukum diatur dengan prinsip demokrasi.
Keberadaan Pasal 43 A dalam draf RUU Terorisme dianggapnya kembali ke era otoritarian.
Dalam proses penahanan, sekalipun pada kasus terorisme, sudah termasuk dalam tindak pidana khusus.
Penulis | : Rakhmat Nur Hakim |
Editor |
: Krisiandi |