Ilustrasi Densus 88 |
JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar menganggap perlu adanya asuransi jiwa yang melekat pada setiap anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri.
Selama ini, kepolisian belum menjamin keselamatan jiwa anggota Densus 88, padahal pekerjaannya berisiko tinggi.
"Itu salah satu profesi di kepolisian yang high risk. Jadi harus dipikirkan anggota Densus ada proteksi asuransi jiwa karena dia siap ditembak," ujar Boy di Mabes Polri, Rabu (18/5/2016).
Boy mengatakan, sudah banyak kasus polisi dibunuh oleh target operasinya, terutama teroris.
Di Poso, kata dia, sudah banyak anggota tim gabungan yang meninggal akibat serangan dari anggota kelompok Santoso.
"Banyak juga anggota Polri meninggal dunia ditembak pelaku teror atau tindak pidana lainnya, itu risiko tugas sebagai polisi. Tapi sebagai masyarakat jangan main api," kata Boy.
Jika ada anggota Densus 88 yang meninggal dunia, pihak keluarga hanya mendapatkan santunan dari pihak kepolisian.
Sementara uang itu belum cukup untuk menanggung hidup keluarga yang ditinggalkan kepala keluarganya.
Karena bahaya terorisme nyata di depan mata, maka perlindungan terhadap anggota satuan pun harus ditingkatkan.
"Katakan Densus berhenti, ini sesuatu yang bahaya. Densus turun morilnya karena dipermasalahkan terus, patah semangat karena dianggap salah," tutur Boy.
Padahal mengorbankan jiwa, waktu, tidak bertemu dengan keluarga untuk menundukkan kelompok teror," kata dia.
Boy berharap hak-hak perlindungan anggota Densus 88 bisa dijamin lewat revisi undang-undang antiterorisme.
Mengenai pengetatan pengawasan oleh Dewan Pengawas pun Boy tak mempermasalahkannya. Sebab, selama ini kinerja Polri juga diawasi oleh internal.
"Dia (Densus 88) tunduk pada aturan pengawasan yang diatur Irwasum, tunduk pada penegakan etik dan disiplin oleh Propam. Jadi sistem yang dikatakan tadi sudah berjalan," kata dia.