Penyidik KPK Novel Baswedan keluar dari Gedung Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Jakarta, Sabtu (2/5). Novel yang sempat ditangkap oleh penyidik Bareskrim pada Jumat (1/5/2015) dini hari itu ditangguhkan penahanannya setelah Kapolri menerima jaminan dari pimpinan KPK. |
JAKARTA, KOMPAS.com - Hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI seakan tak pernah "ayem". Belum lama kondusif, hubungan keduanya kembali bergejolak. Penyidik Bareskrim Polri menangkap penyidik KPK Novel Baswedan, di kediamannya, kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Jumat (1/5/2015) lalu, untuk diperiksa dalam kasus dugaan penganiayaan yang terjadi pada 2004.
Novel sempat dibawa ke Mako Brimob, Depok, Jawa Barat. Pengacara Novel menyebutkan, kliennya ditahan. Jumat siang, Presiden Joko Widodo menginstruksikan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti agar melepaskan Novel. Presiden juga menegaskan bahwa ia telah mengingatkan Kapolri agar tak melakukan langkah-langkah yang menimbulkan kontroversi. (Baca: Jokowi Instruksikan Kapolri Lepaskan Novel)
Namun, instruksi Presiden tak langsung dijalankan. Kapolri yang sudah menyatakan Novel tak akan ditahan pun tak diindahkan. Penyidik Bareskrim justru membawa Novel ke Bengkulu untuk menjalankan rekonstruksi. Ia baru dilepaskan pada Sabtu (2/5/2015). (Baca: Jokowi: Saya Sudah Perintahkan Kapolri Tak Membuat Hal-hal yang Kontroversial)
Penangguhan penahanan terhadap Novel, mengingatkan dua peristiwa sebelumnya, yaitu rencana penahanan terhadap pimpinan nonaktif KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Keduanya sempat akan ditahan setelah menjalani pemeriksaan, namun kemudian ditangguhkan setelah Kapolri menginstruktikan penangguhan. (Baca: Kapolri: Novel Baswedan Tak Ditahan)
Pengamat politik Populi Center Nico Harjanto menduga, ada agenda dari faksi di tubuh Polri yang ingin melampiaskan dendamnya kepada pihak-pihak di KPK.
"Tindakan penyidik itu menunjukkan adanya insubordinasi dengan kepemimpinan Kapolri yang ingin tidak adanya kegaduhan baru. Tampaknya ada agenda faksi di Polri yang sedang melakukan aksi balas dendam," ujar Nico, saat dihubungi Kompas.com.
Jika dugaannya benar, Nico menyarankan pimpinan Polri segera menertibkan faksi itu atau bahkan mengenakan sanksi disiplin. Ia khawatir, ke depannya akan ada tindakan-tindakan "liar" yang dilakukan Polri. (Baca: Politisi PPP: Jangan Buru-buru Sebut Kapolri Tak Turuti Perintah Presiden)
Sementara itu, kuasa hukum Novel Saor Siagian menilai, yang terjadi belakangan ini menunjukkan lemahnya kepemimpinan Badrodin Haiti.
"Ini cerminan bahwa ada matahari kembar di tubuh Polri. Kapolri tidak punya kuasa atau komando demi mencegah situasi tetap cooling down. Jadi, ada pihak lain yang membuat suasana jadi balik lagi menjadi kisruh seperti ini," ujar Saor kepada Kompas.com, Senin (4/5/2015).
Ia juga mempertanyakan langkah-langkah petinggi Polri yang tak sesuai dengan instruksi Kapolri.
"Ini jelas ada pembangkangan anak buah atas perintah Kapolri. Jika demikian, siapa yang mengendalikan Polri sekarang? Ini pertanyaan yang wajib dijawab," ujar Saor.
Presiden harus turun tangan
Pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro menambahkan, jika tindakan Polri dinilai telah melampaui proporsinya, Presiden Jokowi harus menghentikannya karena bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Jika tindakan Polri yang meresahkan masyarakat, Presiden harus memastikan bahwa Polri tetap berada di bawah kendali pemerintah dan tidak liar.
"Publik harus percaya itu terlebih dahulu. Sebab, kalau tidak, maka dikhawatirkan akan memunculkan 'distrust' di tengah publik yang bisa mengganggu stabilitas dan keamanan nasional," ujar Siti.